Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Presiden Jokowi Didorong Tak Perintahkan Menterinya Bahas Revisi UU KPK dengan DPR

Kompas.com - 05/09/2019, 15:25 WIB
Christoforus Ristianto,
Diamanty Meiliana

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti berharap Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan Surat Presiden (Surpres) terkait revisi Undang-undang Nomor 30 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang tiba-tiba saja disahkan pembahasannya dalam rapat paripurna hari ini, Kamis (5/9/2019).

Diketahui, berdasarkan UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, setelah diputuskan adanya RUU Usul Inisiatif ini, DPR akan meminta Presiden untuk mulai membahas.

Kemudian, Presiden selanjutnya akan mengeluarkan Surpres untuk mulai membahas RUU KPK dan menunjuk kementerian/lembaga yang ditugaskan membahas RUU bersama dengan DPR.

"Presiden harusnya tidak mengeluarkan Surpres karena RUU KPK menyalahi prosedur karena tidak pernah dibahas sebelumnya dengan pemerintah dan juga tidak pernah dibahas terbuka," ujar Bivitri kepada Kompas.com, Kamis (5/9/2019).

Baca juga: Draf Revisi UU KPK Atur Asal Penyelidik dan Penyidik KPK dari Polri

Kemudian, lanjutnya, jika dilibat dari substansinya, RUU KPK ini akan sangat melemahkan komisi antirasuah tersebut secara kelembagaan.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jantera Indonesia ini menyebutkan, jika Presiden Jokowi tidak mengeluarkan Surpres, maka pembahasan RUU KPK tidak akan bisa dimulai.

"Merujuk Pasal 20 UUD 1945, setiap RUU harus mendapat persetujuan bersama Presiden dan DPR. Bila Presiden tidak mengeluarkan Surpres, maka RUU ini tidak bisa dibahas," jelasnya.

Baca juga: Gerindra Optimistis Jokowi Setuju Revisi UU KPK

Ia mendorong Presiden Jokowi peka terhadap manuver yang dilakukan DPR. Hal itu mengingat KPK kini makin efektif melakukan penindakan, termasuk ke politisi.

"Semua RUU harus terbuka dan mengundang publik untuk berpartisipasi. Ini KPK saja tidak tahu. Jangan sampai Presiden Jokowi tercatat dalam sejarah sebagai Presiden yang melemahkan KPK," pungkas Bivitri.

Berdasarkan rapat Baleg pada 3 September 2019 dengan agenda pandangan fraksi-fraksi tentang penyusunan draf revisi UU KPK ada enam poin revisi UU KPK.

Baca juga: Revisi UU KPK Mengatur Pembentukan Dewan Pengawas, Begini Rinciannya

Pertama, mengenai kedudukan KPK disepakati berada pada cabang eksekutif atau pemerintahan yang dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, bersifat independen.

Pegawai KPK ke depan juga akan berstatus aparatur sipil negara yang tunduk pada Undang-Undang ASN.

Untuk diketahui, status KPK selama ini sebagai lembaga ad hoc independen yang bukan bagian dari pemerintah.

Kedua, kewenangan penyadapan oleh KPK baru dapat dilakukan setelah mendapat izin dari dewan pengawas.

Baca juga: Presiden Jokowi Dianggap Memegang Kunci Revisi UU KPK

Ketiga, penegasan KPK sebagai bagian tidak terpisahkan dari sistem peradilan pidana terpadu sehingga diwajibkan bersinergi dengan lembaga penegak hukum lainnya.

Keempat, tugas KPK di bidang pencegahan akan ditingkatkan, sehingga setiap instansi, kementerian dan lembaga wajib menyelenggarakan pengelolaan laporan harta kekayaan terhadap penyelenggaraan negara sebelum dan sesudah berakhir masa jabatan.

Kelima, pembentukan dewan pengawas KPK berjumlah lima orang yang bertugas mengawasi KPK.

Keenam, kewenangan KPK untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu satu tahun atau SP3.

Penghentian itu harus dilaporkan kepada dewan pengawas dan diumumkan ke publik.

Kompas TV Reaksi Fahri Hamzah Soal Revisi UU KPK
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com