JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengeluhkan anggaran yang diberikan pemerintah untuk tahun 2020 sebesar Rp 54 miliar.
Anggaran tersebut dinilai terlalu kecil sehingga tidak mampu membiayai seluruh kegiatan LPSK.
Atas hal ini, LPSK tidak tinggal diam.
Mereka bersikeras mendapat tambahan dana, setidaknya sesuai dengan jumlah anggaran yang mereka usulkan sebesar Rp 156 miliar.
1. Anggaran Terendah
Dibandingkan tahun sebelumnya, anggaran yang diterima LPSK untuk tahun 2020 menurun sebesar Rp 11 miliar.
Baca juga: Alokasi Anggaran Turun, LPSK Sebut Pemerintah Kurang Perhatian
Di tahun 2019, realisasi anggaran LPSK sebesar Rp 65 miliar. Tahun 2020 turun menjadi Rp 54 miliar.
Angka tersebut jauh lebih kecil dibanding jumlah anggaran yang diusulkan yaitu sebesar Rp 156 miliar.
"Alokasi tahun 2020 merupakan anggaran terendah yang diterima oleh LPSK sepanjang 5 tahun terakhir," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat konferensi pers di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (25/8/2019).
Selama lima tahun ke belakang, anggaran yang diterima LPSK berkisar antara Rp 75 miliar hingga Rp 150 miliar.
Baca juga: LPSK Berharap Jadi Lembaga Mandiri pada 2020
Dari tahun ke tahun, realisasi anggaran tersebut bersifat fluktuatif, tetapi kecenderungannya menurun.
Padahal, menurut Hasto, penyerapan anggaran LPSK setiap tahunnya hampir seratus persen.
2. Hanya Bisa Bekerja 4 Bulan
Akibat dari pemangkasan anggaran, LPSK mengaku hanya bisa bekerja empat bulan pertama di tahun 2020.
Setelahnya, LPSK terancam tak bisa bekerja karena tidak adanya dana.
Kecilnya dana yang diberikan untuk LPSK ini, menurut Hasto, bahkan telah diakui Ketua DPR Bambang Soesatyo.
Baca juga: Anggaran Turun Rp 11 Miliar, LPSK Sebut Hanya Bisa Kerja 4 Bulan
Setelah mendengar audiensi dari LPSK beberapa waktu lalu, Bambang menyebut bahwa LPSK terancam bubar jika tak mendapat anggaran tambahan.
"Jadi ini bukan dari kami, tapi dari Ketua DPR. Ketua DPR menyatakan, apa yang bisa dilakukan LPSK dengan anggaran tersebut," ujar Hasto.
Selain hanya bisa bekerja di empat bulan pertama saja, LPSK juga terancam melakukan pemangkasan kualitas dan kuantitas program perlindungan saksi dan korban.
Sebab, dari total anggaran Rp 54 miliar, Rp 42 miliar sudah digunakan untuk pembayaran gaji pegawai LPSK dan operasional kantor. Sisanya, hanya Rp 12 miliar yang digunakan untuk penanganan.
Baca juga: Anggaran Berkurang, LPSK Sebut Berdampak pada Penurunan Kualitas Perlindungan Saksi dan Korban
Padahal, para saksi dan korban yang menjadi terlindung LPSK harus mendapatkan sejumlah layanan, mulai dari perlindungan fisik, penempatan rumah aman, pengawalan melekat, pendampingan proses hukum, penggantian biaya hidup, bantuan medis, psikologis, psiko-sosial, serta fasilitasi restitusi dan kompensasi.
Layanan tersebut membutuhkan biaya yang tidak sedikit, apalagi jumlah terlindung LPSK di tahun 2019 mencapai 3.179 orang.
"Dampak yang paling signifikan pada kualitas layanan, kuantitas juga kita batasi karena kalau tidak terlalu serius-serius banget kita terpaksa harus menolak permohonan dari para pemohon," kata Hasto.
3. Perhatian Pemerintah Masih Kurang
LPSK menilai, pemangkasan anggaran yang terjadi setiap tahun merupakan dampak dari kurangnya perhatian pemerintah.
Baca juga: LPSK Keluhkan Anggaran 2020 yang Turun Menjadi Rp 54 Miliar
Padahal, jika ingin, Presiden pun bisa turun tangan untuk memyelesaikan persoalan ini.
"Ya saya berharap Pak Jokowi juga mendengarkan keluhan kami ini. Selama ini nampaknya perhatian pemerintah itu kurang begitu besar kepada lembaga seperti LPSK ini," kata Hasto.
Hasto mengatakan, sejauh ini, belum ada anggaran khusus dari pemerintah pusat yang dialokasikan untuk perlindungan saksi dan korban tindak pidana.
Di tingkat daerah pun, APBD tak memuat alokasi dana perlindungan semacam itu.
Baca juga: LPSK Butuh Perhatian Khusus Kemenkeu Terkait Minimnya Anggaran
Kewenangan LPSK melakukan perlindungan juga tidak hanya untuk satu atau dua korban tindak pidana saja.
Ada sekitar sepuluh UU dan empat Peraturan Pemerintah (PP) yang memberi mandat ke LPSK untuk menangani korban dan saksi untuk kasus kekerasan pada anak, perempuan, penyalahgunaan narkotika, hingga tindak pidana korupsi.
Sejak didirikan tahun 2008 hingga saat ini pun, jumlah permintaan permohonan perlindungan terus meningkat. Tercatat, Ada 11.354 permohonan yang masuk dalam kurun waktu sebelas tahun.
"Oleh karena itu saya berharap pemerintah juga memberikan perhatian lebih karena LPSK ini pekerjaannya lebih konkrit karena kita melekat dalam sistem peradilan pidana," ujar Hasto.
Baca juga: 4 Catatan untuk Komisioner LPSK yang Baru
Setelah sebelumnya audiensi dengan Ketua DPR RI, dalam waktu dekat, LPSK berencana menggelar pertemuan dengan Kementerian Keuangan untuk membahas kelanjutan anggaran.
4. Ingin Jadi Lembaga Mandiri
Penurunan anggaran yang terjadi setiap tahun diduga merupakan dampak dari belum mandirinya LPSK sebagai lembaga negara.
Selama ini, LPSK masih menjadi bagian dari satuan kerja Kementerian Sekretariat Negara (Kemensetneg) sehingga anggarannya sangat bergantung pada Kemensetneg.
"Sehingga kalau anggaran di Kemensetneg itu turun, kita juga ikut turun. Dan rupanya anggaran di Kemensetneg dari tahun ke tahun itu turunnya cukup signifikan," ujar Hasto.
Baca juga: Komisi III DPR Tetapkan 7 Calon Komisioner LPSK Terpilih
Hasto mengatakan, pihaknya saat ini tengah menyiapkan proses perubahan Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesekjenan. Setelah hal itu terealisasi, diharapkan LPSK bisa menjadi lembaga negara yang mandiri.
"Saat ini sedang disiapkan proses perubahan PP tentang Kesekjenan dan itu mudah-mudahan dalam waktu dekat selesai lah. Tetapi tentu saja kan kita masih memerlukan transisi juga," katanya.