Jokowi kembali mengingatkan bahwa kepolisian berhak menindak tegas pelaku persekusi.
"Saya sudah perintahkan kepada Kapolri untuk penegakan hukum, penindakan tegas, dan tidak boleh hal-hal seperti itu dibiarkan," kata Jokowi.
Ia pernah menegaskan, tantangan menjaga keberagaman di Indonesia cukup sulit, seperti tantangan dalam menjaga persatuan. Tantangan itu harus dihadapi bersama supaya negara terbebas dari konflik keberagaman.
"Tantangan untuk menjaga komunikasi, tantangan untuk menjaga toleransi antar-kelompok. Tantangan bagaimana menjaga kesatuan dan persatuan. Tantangan bagaimana menjaga kerukunan. Tantangan bagaimana menjaga persaudaraan dan ukhuwah kita, dan tantangan bagaimana bhinneka itu tetap ika," terangnya.
Ia pun pernah menekankan pentingnya merawat persatuan, persaudaraan dan kerukunan di antara sesama anak bangsa.
"Aset terbesar bangsa kita, Indonesia, adalah persatuan, kerukunan dan persaudaraan. Oleh sebab itu, kita harus tetap menjaga yang namanya ukhuwah Islamiyah, menjaga ukhuwah wathaniyah dan ukhuwah basariah kita," lanjut dia.
Gerakan #2019GantiPresiden seperti koin dengan dua sisi berbeda. Pakar psikologi politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Moeloek mengatakan, kedudukan tagar #2019GantiPresiden di mata hukum Indonesia berada di ruang abu-abu.
Tidak ada argumentasi yang jelas apakah tagar itu dikategorikan sebagai upaya makar yang dilarang, atau kebebasan berekspresi.
Hamdi mengatakan, menurut Pakar hukum Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita, jika ada orang yang berteriak ganti presiden maka itu sama dengan ingin menurunkan presiden alias makar.
Padahal, presiden diangkat secara demokratis hingga selesai masa jabatannya tahun 2019.
"Oleh sebab itu, di tengah jalan tidak bisa diturunkan. Kalau diturunkan, namanya pemakzulan," ujar Hamdi ketika berbincang dengan Kompas.com, Selasa (28/8/2018).
Di sisi lain, ia pun mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara Jimly Asshidiqqie yang menyebutkan bahwa tagar tersebut tidak melanggar apapun. Disebut makar pun tidak memenuhi unsur.
Sementara dari sisi psikologi politik, kata Hamdi, ada teori yang menggambarkan situasi itu sebagai mutual provocation. Kemudian provokasi semakin meningkat hingga menjadi mutual radicalization.
"Sebagian bilang ganti presiden, sebagian lainnya bilang kami enggak mau ganti, disertai unsur-unsur provokasi masing-masing," kata Hamdi.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini juga mengingatkan pentingnya kehati-hatian bagi seluruh pihak dengan menahan diri.