Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

4 Tahun Presiden Jokowi, Janji Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu yang Masih Gelap

Kompas.com - 20/10/2018, 10:49 WIB
Kristian Erdianto,
Dian Maharani

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Selama empat tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, agenda penegakan hak asasi manusia (HAM) dinilai tidak mengalami perubahan. Salah satu indikatornya adalah penuntasan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu yang tak kunjung direalisasikan.

Pada masa kampanye Pilpres 2014, Jokowi berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran berat HAM masa lalu dan menghapus impunitas. Komitmen tersebut juga tercantum dalam visi, misi, dan program aksi yang dikenal dengan sebutan Nawa Cita.

Salah satu poin dalam sembilan agenda prioritas Nawa Cita, Jokowi berjanji akan memprioritaskan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu.

Kemudian Jokowi juga menegaskan komitmennya untuk menyelesaikan delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu disebutkan pula delapan kasus pelanggaran HAM masa lalu yang menjadi beban sosial politik.

Baca juga: Komnas HAM: Tak Ada Langkah Konkret Jaksa Agung Tuntaskan Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu

Kedelapan kasus tersebut adalah kasus kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisaksi, Semanggi I, Semanggi II, kasus penghilangan paksa, kasus Talangsari, Tanjung Priuk, dan Tragedi 1965.

Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, Jakarta, Rabu (22/2/2018).Kompas.com/YOGA SUKMANA Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid, Jakarta, Rabu (22/2/2018).

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan, selama empat tahun menjabat, Presiden Joko Widodo belum melakukan langkah signifikan terkait janji penuntasan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

"Khusus untuk kasus pelanggaran berat HAM masa lalu, tidak ada satu kasus pun yang diselesaikan. Jadi dengan begitu banyak dinamika antara Komnas HAM dan Jaksa Agung, bolak-balik dengan berkas yang tidak ada kemajuan sama sekali," ujar Usman saat berbicara dalam Aksi Kamisan di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, Kamis (18/10/2018).

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani menilai arah penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu di tangan rezim Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sama sekali tidak jelas dan cenderung gelap.

Konsep-konsep penyelesaian pelanggaran HAM di masa lalu bahkan cenderung memperkuat segelintir kepentingan politik dan juga pragmatis yang tidak memberikan keadilan bagi para korban dan keluarga korban.

Presiden Jokowi, kata Yati, seolah tidak paham dan ragu-ragu dalam memberikan instruksi yang tegas untuk merealisasikan janji Nawa Cita.

Baca juga: Menurut Kontras, Ada 4 Alasan HAM Bukan Prioritas Pemerintahan Jokowi

Dalam beberapa kesempatan dan pernyataan di publik, Presiden Jokowi selalu mengumbar janji untuk segera menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu.

Namun, pernyataan tersebut tidak dibarengi dengan instruksi yang tegas, teknis dan runtut serta pemahaman yang baik akan konsep keadilan bagi korban dan keluarga korban.

"Harapan yang sirna barangkali merupakan kalimat yang tepat dalam menggambarkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM di era Presiden Joko Widodo," ujar Yati.

Pengingkaran atas keadilan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai bahwa agenda pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM belum mengalami kemajuan selama empat tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Belum tuntasnya sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu menjadi salah satu indikatornya.

Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik mengatakan, hingga saat ini, Kejaksaan Agung belum membuat langkah konkret untuk menindaklanjuti berkas penyelidikan kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

"Ketidakjelasan atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran yang berat adalah bentuk dari pengingkaran atas keadilan," ujar Damanik saat menggelar konferensi pers di kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (19/10/2018).

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik ketika ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (4/6/2018).KOMPAS.com/ MOH NADLIR Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik ketika ditemui di Kantornya, Jakarta, Senin (4/6/2018).

Menurut Damanik, Komnas HAM telah menyerahkan berkas penyelidikan sejumlah kasus pelanggaran berat HAM masa lalu ke Jaksaa Agung sejak 2002.

Adapun berkas penyelidikan yang telah diserahkan adalah kasus peristiwa 1965/1966, peristiwa penembakan misterius (Petrus) 1982-1985, peristiwa penghilangan paksa aktivis 1997-1998, peristiwa Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II 1998-1999, peristiwa Talangsari 1989, peristiwa kerusuhan Mei 1998, dan peristiwa Wasior Wamena 2000-2003.

Komnas HAM juga menambah tiga berkas kasus pelanggaran berat HAM di Aceh, yakni kasus Jambu Kepok, kasus Simpang KKA dan dan kasus Rumah Gedong yang diserahkan pada 2017-2018.

Di sisi lain, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, mewacanakan penyelesaian kasus melalui mekanisme non-yudisial, yakni pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN). Kemudian DKN diubah menjadi Tim Gabungan Terpadu Penyelesaian Pelanggaran HAM berat masa lalu.

Damanik juga menegaskan bahwa Komnas HAM mendorong penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu melalui mekanisme yudisial atau pengadilan HAM.

Pasalnya, Mahkamah Konstitusi telah membatalkan Undang-Undang tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

"Maka, jalan satu-satunya penyelesaian adalah melalui mekanisme yudisial," kata Damanik.

Jaksa Agung Muhammad Prasetyo Saat ditemui di Kantor Kejagung RI, Jakarta, Jumat (21/9/2018).Reza Jurnaliston Jaksa Agung Muhammad Prasetyo Saat ditemui di Kantor Kejagung RI, Jakarta, Jumat (21/9/2018).

Terganjal Jaksa Agung

Secara terpisah, Komisioner Komnas HAM Hairansyah mengatakan, mandeknya penuntasan kasus pelanggaran HAM yang terjadi sebelum tahun 2000 disebabkan karena tidak adanya langkah konkret dari Jaksa Agung. Menurut dia, Jaksa Agung tidak pernah menindaklanjuti upaya penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM.

"Kami sudah melakukan penyelidikan sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM namun Jaksa Agung belum melakukan itu. Itu problem besarnya. Harus ditanyakan ke Jaksa Agung kenapa tidak mengikuti mekanisme UU Pengadilan HAM," ujar Hairansyah.

Hairansyah menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM (UU Pengadilan HAM), Komnas HAM berwenang melakukan penyelidikan atas kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Berkas penyelidikan Komnas HAM kemudian dilimpahkan ke Jaksa Agung untuk ditindaklanjuti ke tahap penyidikan. Jaksa Agung berwenang membentuk tim penyidik untuk untuk memeriksa berkas penyelidikan dan meneruskannya ke tahap penuntutan.

Jika kasus tersebut dianggap tidak memenuhi syarat penyidikan maka Jaksa Agung berwenang menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan.

Namun, kata Hairansyah, selama ini Jaksa Agung tidak pernah membentuk tim penyidik. Sehingga, Komnas HAM tidak mengetahui kekurangan berkas penyelidikan yang telah dikirimkan.

"Sebenarnya sederhana, tindak lanjuti dengan bentuk tim penyidik, kalau ada kekurangan tim penyidik bisa memerintahkan penyelidik untuk menambah kekurangan berkas penyelidikan. Nah itu yang kemudian tidak dijalankan. Akhirnya semuanya menjadi tidak jelas," kata Hairansyah.

"Seharusnya begitu ada berkas (penyelidikan), Jaksa Agung itu membentuk tim penyidik. Itulah yang seharusnya menjadi langkah konkret tindak lanjut sesuai UU. Kan selama ini adanya tim pemeriksa, itu di luar UU," tuturnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Kisah VoB: Pernah DO, Manggung di Glastonbury, dan Kritiknya ke Dunia Pendidikan Kita

Nasional
Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Soal Peluang Nasdem Dukung Anies di Jakarta, Ahmad Ali: Hanya Allah dan Surya Paloh yang Tahu

Nasional
Safenet: Kalau 'Gentleman', Budi Arie Harusnya Mundur

Safenet: Kalau "Gentleman", Budi Arie Harusnya Mundur

Nasional
Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Kemenag: Jumlah Jemaah Haji Wafat Capai 316 Orang

Nasional
Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Haji, Negara, dan Partisipasi Publik

Nasional
Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Tak Percaya Jokowi Sodorkan Kaesang ke Sejumlah Parpol untuk Pilkada DKI, Zulhas: Kapan Ketemunya? Tahu dari Mana?

Nasional
Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Kemenag: Jemaah Haji Sedang Haid Tidak Wajib Ikuti Tawaf Wada'

Nasional
Safenet: Petisi Tuntut Menkominfo Mundur Murni karena Kinerja, Bukan Politik

Safenet: Petisi Tuntut Menkominfo Mundur Murni karena Kinerja, Bukan Politik

Nasional
Pakar: PDN Selevel Amazon, tapi Administrasinya Selevel Warnet

Pakar: PDN Selevel Amazon, tapi Administrasinya Selevel Warnet

Nasional
Sepekan Pemulangan Jemaah Haji, Lebih 50 Persen Penerbangan Garuda Alami Keterlambatan

Sepekan Pemulangan Jemaah Haji, Lebih 50 Persen Penerbangan Garuda Alami Keterlambatan

Nasional
PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

PAN Resmi Dukung Waketum Nasdem Ahmad Ali Maju Pilkada Sulteng

Nasional
Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Sesalkan Tak Ada Pihak Bertanggung Jawab Penuh atas Peretasan PDN, Anggota DPR: Ini Soal Mental Penjabat Kita...

Nasional
Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada 'Back Up', Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Data Kementerian Harus Masuk PDN tapi Tak Ada "Back Up", Komisi I DPR: Konyol Luar Biasa

Nasional
Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Sebut Buku Partai yang Disita KPK Berisi Arahan Megawati, Adian: Boleh Enggak Kita Waspada?

Nasional
“Saya kan Menteri...”

“Saya kan Menteri...”

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com