JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menilai isu penghilangan aktivis reformasi yang dituduhkan kepada ketua umumnya, Prabowo Subianto, merupakan isu daur ulang yang sengaja dimunculkan setiap menjelang pilpres.
Hal itu disampaikan Dasco menanggapi pemberitaan di bbc.com terkait keterlibatan Prabowo selaku mantan Komandan Jenderal Kopassus.
"Secara umum isu penculikan ini adalah isu daur ulang yang sudah basi. Kami harap kita semua tidak ikut menggoreng isu tersebut, lebih baik kita konsentrasi bagaimana mengatasi siutuasi ekonomi yang sekarang semakin sulit," kata Dasco melalui keterangan tertulis, Rabu (25/7/2018).
Baca juga: Konflik dan Pelanggaran HAM, Catatan Kelam 20 Tahun Reformasi
Ia menambahkan data yang dirilis soal keterlibatan Prabowo tidak akurat dan tidak benar sebab sumbernya hanya merujuk keterangan seorang pimimpin organisasi mahasiswa yang sangat asumstif.
Dasco menyatakan dokumen tersebut bukanlah dokumen hukum melainkan dokumen intelejen yang metode pengumpulan informasinya juga tidak tepat. Ia menambahkan di dalam putusan pengadilan kasus Tim Mawar tidak ada nama Pak Prabowo.
"Kesaksian tersebut bukan hanya bersifat “testimonium di auditu (kesaksian katanya) tetapi juga tidak memiliki relevansi karena tidak didukung secuilpun keterangan saksi lain," lanjut dia.
Baca juga: Cerita di Balik Aksi Mahasiswa Kuasai Gedung DPR Saat Reformasi 1998
Sebelumnya, dilansir dari www.bbc.com, Sebanyak 34 dokumen rahasia Amerika Serikat mengungkap rentetan laporan pada masa prareformasi, salah satunya bahwa Prabowo Subianto disebut memerintahkan Kopassus untuk menghilangkan paksa sejumlah aktivis pada 1998 dan adanya perpecahan di tubuh militer.
Dokumen-dokumen yang dirilis ke publik oleh lembaga Arsip Keamanan Nasional (NSA) ini mengemukakan berbagai jenis laporan pada periode Agustus 1997 sampai Mei 1999.
Sebagian merupakan percakapan staf Kedutaan AS di Jakarta dengan pejabat-pejabat Indonesia, lainnya adalah laporan para diplomat mengenai situasi di Indonesia.
Baca juga: Prabowo Didukung Purnawirawan Kopassus Jadi Capres, Ini Kata Mantan Komandannya
Salah satu dokumen merupakan telegram berisi percakapan antara Asisten Menteri Luar Negeri AS, Stanley Roth, dengan Komandan Kopassus, Mayor Jenderal Prabowo Subianto.
Dalam pertemuan selama satu jam pada 6 November 1997 itu, keduanya membahas situasi Indonesia.
Prabowo mengatakan mertuanya, Presiden Suharto, tidak pernah mendapat pelatihan di luar negeri dan pendidikan formalnya pun sedikit. Namun, menurutnya, Suharto sangat pintar dan punya daya ingat tajam.
Baca juga: Romantisme Orde Baru Selewat Dua Dekade Reformasi
Bagaimanapun, urai Prabowo, mertuanya tidak selalu bisa memahami persoalan dan tekanan dunia.
"Akan lebih baik jika Suharto mundur pada Maret 1998 dan negara ini bisa melalui proses transisi kekuasaan secara damai", sebut Prabowo dalam dokumen itu.
"Apakah itu terjadi pada Maret atau perlu beberapa tahun lagi, era Suharto akan segera berakhir," sambungnya.
Siapa di balik penghilangan para aktivis?
Arsip tertanggal 7 Mei 1998 ini mengungkap catatan staf Kedutaan Besar AS di Jakarta mengenai nasib para aktivis yang tiba-tiba menghilang.
Catatan itu memuat bahwa para aktivis yang menghilang boleh jadi ditahan di fasilitas Kopassus di jalan lama yang menghubungkan Jakarta dan Bogor
Namun, siapa di balik aksi penghilangan itu?
Baca juga: 19 Tahun Penegakan Hukum Kasus HAM 98 Dinilai Nyaris Tak Ada Kemajuan
Hasil percakapan seorang staf politik Kedutaan Besar AS di Jakarta dengan seorang pemimpin organisasi mahasiswa memunculkan nama Prabowo Subianto.
Narasumber tersebut mengaku mendapat informasi dari Kopassus bahwa penghilangan paksa dilakukan Grup 4 Kopassus. Informasi itu juga menyebutkan bahwa terjadi konflik di antara divisi Kopassus bahwa Grup 4 masih dikendalikan Prabowo.
"Penghilangan itu diperintahkan Prabowo yang mengikuti perintah dari Presiden Soeharto," sebut dokumen tersebut.
Baca juga: Nostalgia Kelam Kerusuhan Mei 98 Bergema di Media Sosial
Pada masa kampanye pemilihan presiden 2014, Prabowo berulangkali menekankan dirinya tidak bersalah ketika rangkaian peristiwa 1998 terjadi dan mengatakan dia hanya menjalankan perintah atasan.
"Sebagai seorang prajurit, kami melakukan tugas kami sebaik-baiknya," kata dia dalam debat capres pertama. "Itu merupakan perintah atasan saya."
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.