JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat Mahkamah Agung, Abdullah meminta lembaga-lembaga penyiaran dan media untuk tidak menyiarkan secara langsung proses persidangan di pengadilan, khususnya terkait kasus kejahatan narkoba dan terorisme.
Menurut Abdullah, pemberitaan dan penyiaran proses persidangan perlu diatur lebih jelas dan tegas. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah adanya hal-hal yang tidak diinginkan.
“Diberitakan itu tidak masalah, tetapi tidak perlu di close up karena di KUHAP sendiri nama saja harus inisial apalagi ditulis lengkap membahayakan semuanya,” ujar Abdullah di Gedung Mahkamah Agung RI, Jakarta, Jumat (6/7/2018).
Abdullah mengatakan, prosedur pengambilan gambar di persidangan harus melalui izin dari ketua majelis hakim.
Baca juga: AJI Protes Larangan Siaran Langsung Sidang Korupsi E-KTP
“Perlu izin karena izin akan diberikan arahan oleh ketua majelis silahkan mengambil gambar sebelum sidang dimulai, selanjutanya saat persidangan tidak boleh karena sakral,” kata dia.
Menurut Abdullah, apabilaapabila ers disorot secara berlebihan akan mempengaruhi keterangan saksi yang dihadirkan.
“Saksi menerangkan apa yang dilihat, dialami sendiri sedangkan saksi-saksi yang belum diperiksa tidak boleh mendengar saksi yang sudah diperiksa. Tujuannya supaya keterangannya dialami sendiri,” kata dia.
“Saksi-saksi yang disiarkan live akan mendapatkan informasi sempurna, sehingga keterangan yang disampaikan di persidangan tidak original lagi,” lanjut Abdullah.
Peraturan penyiaran, kata Abdullah, penting seperti saat persidangan kasus narkoba.
“Narkoba misalnya ini kan jaringan bahaya, jadi mudharatnya lebih besar daripada manfaatnya,” kata dia.
Pemberitaan Kasus Terorisme
Di sisi lain, Abdullah juga menyoroti pemberitaan kasus terorisme yang begitu masif di lembaga penyiaran. Abdullah mengatakan, ada kode etik tersendiri dalam melakukan penyiaran dalam persidangan.
"Belum lagi kalau (kasus) terorisme, hakim, jaksanya di close up, saksi-saksi kalau mereka pulang namanya ini jaringan apa bisa menjamin keselamatan, terus nanti yang memberikan keterangan daripada saya memberikan keterangan takut lebih baik nggak mau,” tutur Abdullah.
Lebih lanjut, Abdullah menuturkan perlu diatur untuk mencegah adanya penyebaran paham-paham radikalisme ke masyarakat yang menonton siaran tersebut.
“Bahaya bagi keluarga kerabat, anak-anak terdakwa yang tidak tau ikut dihukum masyarakat hanya karena menyebutkan anaknya si A (pelaku teroris),” kata dia.
“Sehingga secara psikologis berpengaru kepada kejiwaan tersebut. Tidak berdosa tapi dipaksa menanggung dosa orang tua,”Abdullah menambahkan.