Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KPK Pelajari Kesaksian Kwik Kian Gie soal Peran Megawati dalam SKL BLBI

Kompas.com - 06/07/2018, 09:58 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah menuturkan, pihaknya mempelajari kesaksian Mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kwik Kian Gie.

Saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Kamis (5/7/2018), Kwik mengatakan bahwa  Megawati Soekarnoputri sewaktu menjabat presiden pada akhirnya menyetujui pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada debitur penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

"Seperti halnya fakta-fakta sidang di kasus-kasus yang ditangani KPK, tentu kami lakukan analisis," kata Febri kepada Kompas.com, Jumat (6/7/2018).

Kendati demikian, kata dia, pihaknya belum berencana memanggil Presiden ke-5 RI tersebut. Sebab, KPK masih fokus pada tataran implementasi kebijakan ini.

"KPK saat ini fokus pada tataran implementasi kebijakan, karena dugaan perbuatan melawan hukumnya di sana," ujar Febri.

Baca juga: Cerita Kwik Kian Gie Saat Megawati Setuju Terbitkan Inpres SKL BLBI

Ia menjelaskan, untuk melihat kasus BLBI ini terbagi pada tataran kebijakan dan implementasi kebijakannya. Kebijakan ini dilandasi oleh Instruksi Presiden Nomor 8 Tahun 2002.

Inpres itu dikeluarkan pada 30 Desember 2002 oleh mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.

Isi inpres tersebut yakni Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

"Di implementasi kebijakan, misal dalam kasus ini kita menemukan dugaan SKL justru diberikan. Padahal kewajiban Sjamsul Nursalim belum selesai. Karena piutang petani tambak yang dimasukan sebagai bagian dari sejumlah pembayaran pada negara ternyata macet," ujar Febri.

Baca juga: Alasan Kwik Kian Gie Tolak Keputusan Megawati dan Pendapat Kabinet soal SKL BLBI

Sebelumnya, Ketua KPK Agus Rahardjo tak menutup kemungkinan akan mengembangkan perkara korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) terkait pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada pengusaha Sjamsul Nursalim.

Meski landasan dikeluarkannya SKL mengacu pada Inpres Nomor 8 Tahun 2002, KPK tidak akan menyelidiki soal kebijakan itu.

"Kami kan tidak selalu menyoroti policy, kami menyoroti pelaksanaan. Policy pada waktu itu kami tidak permasalahkan," ujar Agus di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, Jakarta, Kamis (19/4/2018).

Dalam kasus ini, Syafruddin didakwa merugikan negara sekitar Rp 4,5 triliun terkait penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI kepada Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI).

Menurut jaksa, perbuatan Syafruddin telah memperkaya Sjamsul Nursalim, selaku pemegang saham pengendali BDNI tahun 2004. Keuntungan yang diperoleh Sjamsul dinilai sebagai kerugian negara.

Jaksa menyatakan, Syafruddin selaku Kepala BPPN diduga melakukan penghapusan piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin oleh PT Dipasena Citra Darmadja (PT DCD) dan PT Wachyuni Mandira (PT WM).

Selain itu, Syafruddin disebut telah menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham.

Padahal, menurut jaksa, Sjamsul Nursalim belum menyelesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak, yang akan diserahkan kepada BPPN.

Kesalahan itu membuat seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).

Kompas TV Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie menjadi saksi untuk terdakwa Syafruddin Arsyad Temenggung.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com