KASUS penganiayaan terhadap tenaga kerja Indonesia (TKI)di Pinang, Malaysia, yang menimpa salah seorang TKI asal NTT bernama Adelina pada Februari lalu, sungguh sangat memilukan dan mengkhawatirkan.
Seminggu setelahnya, kembali diberitakan tentang adanya TKI yang meninggal di Sabah. Pada Maret 2018, TKI bernama Santi R Simbolon ditemukan tewas di dalam lemari di Pulau Penang, Malaysia.
Hal tersebut menambah panjang deretan nasib suram dan kisah tragis "para pejuang devisa" di Negeri Jiran.
Di satu sisi, menjadi TKI adalah bagian dari upaya mencari peluang hidup yang lebih menjanjikan di luar negeri. TKI berharap dapat membantu keluarga di kampung halaman sehingga dapat hidup lebih sejahtera. Namun, di sisi lain ada risiko yang mengancam jiwa mereka kapan saja dan di mana saja.
Perlindungan pekerja migran
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia baru saja disahkan pada 22 November 2017. UU ini menggantikan UU Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri.
UU tersebut dibuat untuk memperbaiki berbagai kelemahan yang ada dalam UU No. 39/2004 sebab tujuan utama penyempurnaan UU tersebut agar para TKI semakin terlindungi sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945.
Semangat penerbitan UU 18/2017 adalah agar para TKI terlindungi dari praktik perdagangan manusia, termasuk perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia, serta perlakuan lain yang melanggar hakasasi manusia.
Selain itu, UU tersebut lebih menekankan dan memberikan peran lebih besar kepada pemerintah dan mengurangi peran swasta dalam penempatan dan perlindungan
pekerja migran Indonesia.
UU 18/2017 ini menjadi regulasi yang lebih baik dan dapat menjadi patokan untuk menjadikan TKI kita untuk lebih memiliki bargaining position yang jelas sesuai dengan skill dan kompetensi yang dimiliki.
Dengan pengesahan UU baru tentang perlindungan pekerja migran ini, seharusnya para TKI kita lebih pede dalam hal memperjuangkan hak-haknya, meskipun mereka bekerja hanya sebagai pembantu rumah tangga ataupun buruh pabrik.
Kasus yang dialami oleh Adelina dan Santi R Simbolon tentunya tidak boleh dianggap sepele, terlepas apakah Adelina atau Santi berstatus sebagai TKI legal atau ilegal.
Kasus mereka terjadi akibat adanya kelalaian negara yang tidak melakukan proses pengawasan dan kontrol yang ketat terhadap para TKI dan terhadap pemberi kerja.
Negara, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, harus bekerja ekstra untuk mengawal semua TKI yang tercatat sebagai pekerja migran yang bekerja sesuai dengan aturan UU 18/2017.
Apabila masih ada temuan berbagai kasus pemberi kerja bermasalah, yang pada akhirnya dapat menyebabkan korban bagi para pekerja migran kita, negara wajib berupaya melindungi secara maksimal agar pekerja migran kita tidak menjadi korban.