Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Masyarakat Indonesia Mudah Terpengaruh Ujaran Kebencian di Media Sosial

Kompas.com - 16/03/2018, 21:47 WIB
Dylan Aprialdo Rachman,
Sabrina Asril

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) Albertus Patty menegaskan bahwa perubahan teknologi yang berlansung cepat dan menimbulkan disrupsi di kalangan masyarakat, tak terkecuali bagi umat beragama.

"Ini sebuah kesempatan atau disrupsi? Tergantung respons kita. Perkembangan teknologi begitu cepat sehingga memang banyak orang melihatnya sebagai disrupsi," ungkap Albert dalam Seminar Nasional dan Deklarasi Generasi Milenial Menuju Indonesia Emas 2045 di Graha Oikumene PGI dan GMKI, Jakarta, Jumat (16/3/2018).

Albert melihat umat beragama di Indonesia rawan kehilangan kontrol diri dalam menggunakan teknologi. Hal itulah yang memicu masyarakat saling menghujat, menebar ujaran kebencian, dan hoaks di media sosial. Pertentangan itu seringkali merusak relasi sesama umat beragama di Indonesia.

"Dan kita enggak sadar bahwa hal-hal itu seringkali dijustifikasi oleh agama, kita benci dengan orang lain dijustifikasi karena agama. Celakanya, juga karena kepentingan politik. Agama dijadikan instrumen kekuasaan politik," ujarnya.

Baca juga : Ujaran Kebencian dan Hoaks di Media Sosial Tingkatkan Radikalisme

Albert melihat bahwa agama-agama di Indonesia belum maksimal dalam mempersiapkan umatnya menghadapi teknologi disruptif. Hal itulah yang membuat teknologi digital semakin menghasilkan sekat-sekat antar masyarakat.

"Yang terjadi egoisme pribadi dan egoisme kelompok mendominasi kehidupan kita. Dan ini menunjukkan agama-agama kita masih gagal tidak mempersiapkan merespon positif teknologi," katanya.

Albert menegaskan bahwa kesetiaan terhadap agama harus ditempatkan dalam konteks keindonesiaan dan kesepakatan nilai-nilai Pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945. Apabila masyarakat mengabaikan Pancasila dalam menjalankan kehidupan beragama, maka penggumpalan sekat identitas akan semakin mengeras.

Baca juga : Komnas HAM: Ujaran Kebencian Ancaman Nyata Bagi Demokrasi

Di sisi lain, Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMi) Jimly Asshiddiqie menilai, peningkatan gejala radikalisme yang diakibatkan oleh disrupsi teknologi dialami semua bangsa.

"Sekarang yang kita hadapi juga dialami semua negara, jangan merasa kita aja. Imbas dari ujaran kebencian dan hoaks ini banyak," ujar Jimly dalam paparannya.

Jimly melihat tingginya keberagaman yang dimiliki Indonesia juga menjadi titik rawan akan sulitnya mengendalikan gesekan konflik masyarakat di media sosial.

Baca juga : Savic Ali: Ujaran Kebencian Terindikasi Berasal dari Partisan Politik

Selain itu, keunggulan media sosial yang bisa menyamarkan identitas pengguna turut memperparah perseteruan antar umat beragama.

"Semua orang menyembunyikan identitasnya di medsos, berani maki-maki orang lain. Jadi semua saling menghujat.

Oleh karena itu, Jimly menyarankan agar semua umat beragama berada dalam satu posisi menghubungkan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, pemimpin keagamaan bisa membangun kepribadian masyarakat Indonesia yang inklusif.

"Jadi semua umat beragama harus melakukan reformasi internal untuk menghadapi ancaman teknologi disruptif. Kalau dibiarkan semua orang menjadi pembenci, pemarah. Padahal agama mengajarkan cinta kasih," katanya.

Selain itu, Jimly juga berharap agar umat beragama Indonesia berpegang terhadap nilai-nilai kebudayaan untuk menghadapi teknologi disruptif di era globalisasi.

"Kita masing-masing harus punya identitas budaya. Yang kedua, kita itu hidup di tengah pluralitas sebagai keniscayaan," ungkap Jimly.

Kompas TV Oleh karena itu, Wiranto mengimbau kepada masyarakat agar tidak termakan isu-isu menyesatkan yang tersebar di media sosial.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com