JAKARTA, KOMPAS.com - Maraknya ujaran kebencian dan informasi bohong (hoaks) di linimasa media sosial meningkatkan radikalisme di Indonesia. Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMi) Jimly Asshiddiqie menilai gejala radikalisme akibat disrupsi teknologi juga dialami oleh semua bangsa.
"Sekarang yang kita hadapi juga dialami semua negara, jangan merasa kita saja. Imbas dari ujaran kebencian dan hoaks ini banyak," ujar Jimly dalam paparannya di Seminar Nasional dan Deklarasi Generasi Milenial Menuju Indonesia Emas 2045 di Graha Oikumene PGI dan GMKI, Jakarta, Jumat (16/3/2018).
Jimly melihat tingginya keberagaman yang dimiliki Indonesia juga menjadi titik rawan akan sulitnya mengendalikan gesekan konflik masyarakat di media sosial. Selain itu, keunggulan media sosial yang bisa menyamarkan identitas pengguna turut memperparah perseteruan antar umat beragama.
Baca juga : Warga Tasik Penyebar Postingan Ujaran Kebencian Ternyata Sniper MCA
"Semua orang menyembunyikan identitasnya di medsos, berani maki-maki orang lain. Jadi semua saling menghujat," kata dia.
Oleh karena itu, Jimly menyarankan agar semua umat beragama berada dalam satu posisi menghubungkan nilai-nilai keagamaan dengan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan demikian, pemimpin keagamaan bisa membangun kepribadian masyarakat Indonesia yang inklusif.
"Jadi semua umat beragama harus melakukan reformasi internal untuk menghadapi ancaman teknologi disruptif. Kalau dibiarkan semua orang menjadi pembenci, pemarah. Padahal, agama mengajarkan cinta kasih," katanya.
Baca juga : Ujaran Kebencian dan Dua Sisi Media Sosial...
Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia Albertus Patty. Albert menilai ujaran kebencian dan hoaks kerapkali didasari dengan justifikasi agama dan kepentingan politik. Hal itu memicu konflik yang berkepanjangan antar umat beragama.
"Teknologi digital harus dijadikan sebuah kesempatan untuk mengimplementasikan sila-sila Pancasila," ujarnya.
Albert melihat, ujaran kebencian dan hoaks atas justifikasi agama membuat seseorang terjebak pada ritualisme tanpa tuhan. Dalam artian, masyarakat kehilangan spiritualismenya dalam menjalankan kehidupan beragama.
"Apa yang kurang dari kita adalah bagaimana kita harus mengatasi egoisme pribadi dan kelompok," ujarnya.