Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ketentuan Batas Usia Nikah di UU Perkawinan Mendiskriminasi Kaum Perempuan

Kompas.com - 18/12/2017, 15:41 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Pokja Reformasi Kebijakan Publik Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Indry Oktaviani mengungkapkan bahwa ketentuan batas usia menikah yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan merupakan kebijakan yang mendiskriminasi perempuan.

Ia menilai pencantuman batas minimal usia perkawinan perempuan 16 tahun dan laki-laki 19 tahun mendorong praktik perkawinan anak terus terjadi.

"Secara nyata peraturan itu membuat setiap perempuan Indonesia boleh dikawinkan saat usia anak atau belum dewasa," ujar Indry saat ditemui di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, Senin (18/12/2017).

Menurut Indry, praktik perkawinan anak perempuan secara jelas menimbulkan kekerasan, baik kekerasan seksual, fisik maupun sosial. Selain itu, korban perkawinan di usia dini juga kehilangan haknya sebagai anak.

Baca juga : Pernikahan Anak di Perkotaan Tetap Terjadi, Mengapa?

Terkait hal itu, KPI pun bersedia mendampingi tiga perempuan korban perkawinan anak yang mengajukan uji materi UU Perkawinan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Endang Wasrinah, Rasminah dan Maryati meminta MK melakukan uji materi Pasal 7 ayat (1) terutama pada frasa "batas minimal usia perkawinan perempuan adalah 16 tahun".

"Para pemohon minta ketentuan diubah agar sama dengan batas usia laki-laki yakni 19 tahun. Batu uji yang kami gunakan yakni Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya," ucap Indry.

Baca juga : Batik, Pelepas Belenggu Pernikahan Anak di Desa Gedangsari...

Kekerasan fisik dan psikologis akibat perkawinan anak jelas dialami oleh Maryati (30), seorang warga Bengkulu.

Ia dipaksa menikah oleh ayahnya pada usia 14 tahun atas alasan ekonomi. Saat itu ayahnya terlilit hutang dan menyuruh Maryati menikah dengan si pemberi hutang yang usianya terlampau jauh dengan Maryati.

Kondisi ekonomi keluarga yang buruk juga membuat Maryati putus sekolah. Jenjang pendidikannya tak sampai kelas 6 SD.

Maryati tak bisa berbuat banyak selain menuruti keinginan ayahnya itu. Dengan memalsukan umur agar sesuai undang-undang, Maryati terpaksa menikah.

"Saya tidak ngerti kalau akan dijodohkan. Waktu itu saya menolak karena merasa belum pantas untuk menikah," ujar Maryati.

Baca juga : Sulawesi Tengah, Peringkat 3 Perkawinan Anak Usia Dini di Indonesia

Setelah menikah dan mengandung, Maryati mengalami keguguran sebanyak tiga kali. Bidan kandungan yang ia temui menjelaskan bahwa kandungannya lemah sebab umur Maryati masih terlalu muda. Ia baru berhasil melahirkan anak saat usianya mengingak 18 tahun.

Kekerasan yang dialami Maryati tidak sebatas pada kekerasan fisik saja, namun juga kekerasan psikologis. Ia mengaku mengalami tekanan batin karena dipaksa menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya.

"Beberapa tahun belakangan ini berpikir untuk bercerai. Ada tekanan batin," tuturnya.

Kasus serupa juga dialami oleh Rasminah (32) warga Indramayu, Jawa Barat. Ia dipaksa menikah oleh orangtuanya pada usia 13 tahun karena faktor ekonomi.

"Tadinya mau lanjut sekolah tapi enggak bisa, karena enggak ada biaya. Akhirnya dipaksa untuk menikah," ujar Rasminah.

Baca juga : Menanti Keseriusan Pemerintah Hilangkan Perkawinan Anak

Menurut Rasminah, banyak keluarga yang memaksa anak perempuannya menikah karena alasan himpitan ekonomi. Kemiskinan memaksa anak-anak perempuan dinikahkan dengan laki-laki yang dianggap bisa memberikan nafkah.

Kondisi itu membuat kedudukan perempuan menjadi tidak setara dengan laki-laki. Akibatnya seringkali seorang suami bertindak sewenang-wenang dan memandang kedudukan istri lebih rendah.

Dua tahun setelah menikah, sang suami pun meninggalkan Rasminah tanpa alasan yang jelas.

"Banyak yang seperti saya, tapi takut (untuk bicara) . Yang nikah muda kemudian cerai banyak. Yang ditinggal suaminya banyak, tapi mereka takut untuk melapor," kata Rasminah.

Kondisi yang dihadapi Maryati dan Rasminah, menurut Indry, merupakan contoh bagaimana ketentuan usia nikah di UU Perkawinan telah menimbulkan diskriminasi terhadap perempuan.

Ia berharap MK mengabulkan permohonan uji materi UU Perkawinan agar ada instrumen hukum yang dapat menekan maraknya praktik perkawinan anak.

Setidaknya, lanjut Indry, dengam naiknya batas minimal usia menikah bagi perempuan, dapat mencegah praktik manipulasi umur seperti yang dialami oleh Maryati.

"Kalau batas usia sudah 19 tahun, kita bisa memperketat soal adanya praktik manipulasi. Penjatuhan sanksi akan lebih mudah. Selama masih 16 tahun, seperti sekarang akan lebih mudah untuk memanipulasi umur anak dan dipaksa menikah meski belum 16 tahun," ujar Indry.

Kompas TV Kongres Ulama Perempuan Indonesia digelar di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan, Ciwaringin.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com