JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak terima disebut telah merampas hak hukum Setya Novanto sebagai tersangka untuk mengajukan praperadilan.
KPK justru merasa Novanto yang terjerat kasus korupsi proyek e-KTP, telah dipenuhi haknya untuk lebih cepat diadili.
Hal itu dinyatakan Biro Hukum KPK dalam sidang praperadilan yang diajukan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (11/12/2017).
Awalnya, ahli hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia, Mudzakir, menilai KPK telah merampas hak Novanto saat tidak hadir dalam sidang pertama praperadilan. Atas permintaan KPK, sidang ditunda hingga satu pekan kemudian.
"Pihak pemohon sudah terganggu haknya ketika KPK tidak hadir. Lalu hak pemohon sudah dirampas seminggu. Ternyata sudah diajukan juga berkas perkaranya," kata Mudzakir.
(Baca: Mudzakir: KPK Seharusnya Tahu Diri Tidak Limpahkan Berkas Novanto)
Menurut Mudzakir, KPK sengaja mempermainkan waktu untuk menggugurkan praperadilan. Caranya, KPK dengan segera melimpahkan berkas perkara Novanto ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Meski demikian, keterangan ahli tersebut dibantah oleh Kepala Biro Hukum KPK Setiadi.
"Dalam korupsi ada yang dirugikan, yaitu negara. Nah pertanyaan saya, apakah tindakan penegak hukum untuk percepat berkas dan mendahulukan tersangka adalah hal yang wajar?" kata Setiadi kepada ahli.
Menurut Setiadi, dengan dipercepatnya pelimpahan berkas Novanto ke tahap persidangan, hal itu justru memenuhi hak Novanto untuk memperoleh keadilan di hadapan hakim. Hal itu sesuai ketentuan Pasal 50 ayat 1, 2 dan 3 KUHAP.
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Tersangka berhak segera mendapat pemeriksaan oleh penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum. Kemudian, Tersangka berhak perkaranya segera dimajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
(Baca juga: KPK Anggap Hakim Praperadilan Tak Lagi Punya Kewenangan Eksekutorial)
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.