JAKARTA, KOMPAS.com - Biro hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menganggap hakim praperadilan tidak lagi mempunyai kewenangan eksekutorial.
Dengan demikian, praperadilan yang dimohonkan Setya Novanto seharusnya dinyatakan ditolak atau tidak dapat diterima.
Hal itu disampaikan Biro Hukum KPK dalam nota keberatan atau eksepsi atas permohonan praperadilan yang diajukan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (8/12/2017).
Baca: Sidang e-KTP Digelar Pekan Depan, Bagaimana Nasib Praperadilan Novanto?
Menurut Biro Hukum KPK, jika hakim tunggal menyatakan penetapan tersangka tidak sah, maka putusan praperadilan tersebut tidak bisa dilaksanakan.
"Sebab, putusan itu tidak memiliki kekuatan eksekutorial. Karena status Setya Novanto sudah sebagai terdakwa kasus korupsi pengadaan e-KTP, bukan lagi tersangka," ujar salah satu anggota Biro Hukum KPK saat membacakan eksepsi.
Menurut KPK, status Novanto telah berubah, karena berkas perkara untuk kepentingan penuntutan telah dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Tak hanya itu, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat bahkan telah mengeluarkan penetapan tentang susunan majelis hakim yang akan mengadili.
Baca: KPK Pastikan Bawa Bukti Baru untuk Praperadilan Kedua Setya Novanto
Ketua Pengadilan juga telah menetapkan hari sidang pembacaan surat dakwaan, yakni pada 13 Desember 2017.
Berdasarkan surat yang diterima, Ketua PN Jakpus memerintahkan jaksa penuntut KPK untuk menghadirkan Setya Novanto sebagai terdakwa.
Selain itu, sesuai ketentuan putusan Mahkamah Konstitusi, perkara yang telah dilimpahkan ke pengadilan pokok perkara, bukan lagi termasuk dalam lingkup praperadilan.
Dengan demikian, hakim tunggal tidak lagi mempunyai kewenangan untuk memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka.
"Jika praperadilan tetap memutus penetapan tersangka tidak sah, maka hal ini berpotensi putusan saling bertentangan," kata anggota biro hukum KPK.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.