JAKARTA, KOMPAS.com - Widyaiswara Badan Diklat Kejaksaan, Adnan Paslyadja, menganggap Komisi Pemberantasan Korupsi dan instansi hukum lain berhak melakukan pencegahan seseorang bepergian ke luar negeri terkait suatu tindak pidana, meski statusnya masih saksi.
Hal itu tercantum dalam Pasal 91 ayat (2) Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian.
Dalam undang-undang tersebut, tidak disebutkan status orang yang dicegah apakah masih saksi atau tersangka.
"Setiap orang bisa saja (dicegah). Seseorang bisa dicegak itu orang yang diperlukan keterangannya untuk memberi terang perkara tersebut," ujar Adnan dalam sidang praperadilan Setya Novanto di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2017).
(baca: Dari Kursi Pengunjung, Ketua KPK Pantau Sidang Praperadilan Setya Novanto)
Pencegahan merupakan pertimbangan subjektif penyidik, dikhawatirkan seseorang melarikan diri ke luar negeri jika sewaktu-waktu keterangannya dibutuhkan dalam proses hukum.
Oleh karena itu, keterangan orang-orang yang dicegah sudah pasti memiliki peran penting dalam kasus itu.
Ada anggapan pencegahan ke luar negeri berpotensi melanggar hak asasi manusia. Namun, kata Adnan, upaya paksa apapun atas nama hukum pasti melanggar hak asasi.
"Menahan orang melanggar HAM. Sepanjang ada alasan penahanan, sepanjang ada alasan hukumnya," kata Adnan.
Lagipula, kata Adnan, ada jangka waktu pencegahan, yakni enam bulan.
(baca: Pengacara: KPK Sewenang-wenang Cegah Novanto ke Luar Negeri)
Sebelumnya, tim pengacara Novanto, dalam poin keberatannya, mempermasalahkan pencegahan Novanto oleh pihak Imigrasi.
KPK dianggap sewenang-wenang dengan memasukkan nama kliennya dalam daftar cegah.
Pengacara Novanto, Agus Trianto, mengatakan, status Novanto saat itu merupakan saksi dari tersangka pengusaha Andi Agustinus dalam perkara dugaan korupsi pengadaan e-KTP.
(baca: Romli Atmasasmita Nilai KPK Tergesa-gesa Tetapkan Novanto Jadi Tersangka)