JAKARTA, KOMPAS.com - "Serangan" terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak henti-hentinya datang. Terakhir, "serangan" itu bahkan berasal dari rekan sesama penegak hukum, yakni Jaksa Agung Muhammad Prasetyo yang menilai operasi tangkap tangan (OTT) bikin gaduh serta menilai fungsi penuntutan sebaiknya dikembalikan ke kejaksaan.
Hal itu membuat masyarakat prihatin. Putri (25), misalnya, melihat "serangan" terhadap KPK tersebut menyedihkan. Padahal, kerja KPK saat ini semakin membaik.
Salah satunya dengan berani mengungkap kasus korupsi KTP elektronik (e-KTP) yang menyeret banyak nama penting, terutama politisi di DPR.
Gangguan yang datang dari banyak penjuru, menurut dia, berdampak pada terganggunya kinerja KPK.
"Kalau orang-orang KPK kerja tapi masih dapat ancaman dan disibukkan dengan segala urusan hukum dan administrasi, ya cukup mengganggu," tutur Putri.
(Baca juga: Jaksa Agung Dinilai Berniat "Mengamputasi" KPK)
Saat ini muncul juga wacana pembekuan KPK yang diutarakan politisi PDI Perjuangan Henry Yosodiningrat. Wacana itu juga banyak disorot oleh publik.
Ivan (25) menilai pembekuan tak masuk akal jika alasannya hanya karena ada sejumlah penyimpangan yang dilakukan KPK. Evaluasi perlu dilakukan terhadap KPK, namun jangan sampai lembaganya justru dibekukan.
Meski begitu, ia menilai hal itu tak akan terjadi.
"(KPK) bisa bertahan karena masyarakat bersama KPK," kata Ivan.
Ia menilai, koruptor akan semakin bebas bergerak jika KPK dibubarkan. Dengan banyaknya uang negara yang disalahgunakan, maka pembangunan juga bisa terhambat.
Nilai-nilai Pancasila pun, menurut dia, tak diamalkan melainkan hanya hanya sebatas slogan.
"(Kalau KPK dibekukan) koruptor makin bebas geraknya, ada KPK saja masih coba-coba korupsi," ucap dia.
Sementara itu, Arie (28) menilai situasi saat ini kontraproduktif dengan cita-cita bangsa dan pemerintah soal mewujudkan Indonesia yang bebas korupsi.
Menurut dia, jika ada kekurangan di internal KPK, maka seharusnya lembaga antirasuah diberi penguatan agar kinerjanya lebih maksimal.
Rangkaian "serangan" terhadap KPK juga disebut menimbulkan kegaduhan politik dan gesekan antarlembaga. Arie berharap, Presiden Joko Widodo bisa mengambil peran untuk mendinginkan situasi.
"Sebagai warga saya berharap kegaduhan seperti ini seharusnya tidak perlu terjadi karena hanya akan menyita energi bangsa dan menghambat pada kinerja di masing-masing lembaga," kata dia.
(Baca juga: "KPK Sudah Menjadi Musuh Bersama, Termasuk oleh Penegak Hukum")
Adapun, Khadafi (27) melihat upaya pelemahan KPK berkaitan dengan momentum jelang Pemilu 2019 sehingga situasi dibuat berantakan. Terlebih, isu korupsi masih menjadi salah satu isu yang paling menarik perhatian masyarakat.
Pembekuan KPK, menurut dia, tidak akan mudah dilakukan. Hal yang memungkinkan adalah melucuti kewenangan KPK satu per satu.
"Dibubarkan sepenuhnya enggak mungkin. Tapi kalau cuma jadi kayak Kejagung ya mungkin. Ada, tapi kayak hampir enggak ada fungsi," tuturnya.
Ia juga melihat sikap Presiden Joko Widodo saat ini cenderung berhati-hati.
"Takut juga mungkin terganggu suaranya pada 2019. Isu korupsi pasti sangat dilihat," tuturnya.
Manuver Panitia Khusus Hak Angket KPK masih belum berakhir. Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi III dan KPK pun sekaligus digunakan sebagai momentum klarifikasi berbagai temuan Pansus Angket KPK.
"Serangan" lainnya datang dari Jaksa Agung M Prasetyo. Mantan anggota DPR dari Partai Nasdem itu menyebut bahwa OTT KPK menimbulkan kegaduhan. Menurut dia, OTT tak mampu meningkatkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia.
(Baca juga: KPK: Pemisahan Kewenangan Penuntutan Tak Berkaitan dengan Peningkatan IPK)
Prasetyo juga berpendapat sebaiknya fungsi penuntutan dikembalikan kepada kejaksaan. Selama ini, penyidikan dan penuntutan KPK dilakukan satu atap dengan jaksa-jaksa yang diperbantukan.