"Saat itu, dukungan masyarakat dan orangtua terhadap pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sangat berkurang."
"Di sisi lain, banyak kepala sekolah yang menutup program Bahasa Indonesia," kata Halim saat berbincang dengan Kompas.com, akhir pekan lalu.
Kedua, lanjut Halim, adalah persoalan teknis. WNI yang sudah tinggal di Australia selama 30 tahun ini menuturkan, mata pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah seringkali bentrok dengan mata pelajaran lain yang dianggap lebih penting.
Menurut Halim, anak yang tertarik untuk belajar bahasa biasanya adalah siswa beprestasi yang memiliki ambisi karir yang tinggi.
"Biasanya mereka adalah siswa IPA yang harus memilih antara bahasa atau mata pelajaran lain yang menunjang pilihan dia di universitas. Misalnya sains, fisika, matematika tingkat tinggi atau kimia," ujar dia.
Kurikulum Bahasa Indonesia di Queensland disusun untuk tingkat kindergarten (TK) hingga kelas 12 (SMA). Mata pelajaran bahasa, saat ini diajarkan, di tingkat primary (SD) dan secondary (SMP dan SMA).
(Baca: Presiden Tsai Ucapkan "Selamat Idul Fitri" Pakai Bahasa Indonesia)
Mata pelajaran bahasa asing wajib untuk tingkat primary hingga kelas 9 di secondary.
Lalu, saat siswa menginjak kelas 10, bahasa menjadi mata pelajaran pilihan. Pemilihan bahasa asing yang diajarkan menjadi otoritas penuh kepala sekolah.
Halim mengungkapkan, saat ini, Bahasa Indonesia diajarkan di 30-40 sekolah dari hampir 500 sekolah menengah dan gabungan sekolah menengah dan dasar di Queensland.
"Jika mengacu pada analisa dr Kathleen, sebelum 2003 ada lebih dari 100 sekolah yang mengajar Bahasa Indonesia," kata Halim.
Di tingkat Universitas, kata Halim, Bahasa Indonesia juga tak lagi menjadi pilihan. Di University of Queensland misalnya, program pelatihan guru Bahasa Indonesia ditutup per tahun ini.
Padahal program tersebut banyak meluluskan guru Bahasa Indonesia di Queensland pada masa lampau.
"Jadi nanti dampaknya di Queensland tidak ada yang lulus sebagai guru bahasa indonesia."
"Seandainya nanti ada sekolah yang mencari guru Bahasa Indonesia, mereka harus cari dari negara bagian lain. Jadi lebih rumit," kata Halim.
Minat untuk belajar Bahasa Indonesia juga tidak terlalu tinggi. Kebanyakan yang belajar adalah mereka yang punya keterkaitan dengan Indonesia.
"Biasanya terkait pekerjaan atau yang sering berwisata ke Indonesia," kata Halim.
Balai Bahasa dan Budaya
Kondisi ini, kata Halim, membuat guru-guru Bahasa Indonesia di Queensland kerap membahas perlunya organisasi yang bisa bergerak untuk setidaknya mempertahankan angka pengajaran Bahasa Indonesia di sekolah-sekolah.
Aspirasi para guru ini direspons Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Australia.
Pada akhir 2016, Duta Besar Indonesia untuk Australia saat itu, Nadjib Riphat Kesoema sengaja datang ke Brisbane untuk bertemu para guru Bahasa Indonesia.
(Baca: Jokowi Akan Resmikan Balai Bahasa Indonesia di Australia)
Pertemuan itu membuahkan kesepakatan bahwa organisasi tersebut harus terbentuk.