JAKARTA, KOMPAS.com - Pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) oleh Polri menjadi salah satu kesimpulan rapat kerja antara Polri dan Komisi III DPR, pada Selasa (23/5/2017) kemarin.
Menanggapi rencana Polri membentuk Densus Tipikor, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan sejumlah catatan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan, KPK memantau hasil rapat Polri dan KPK.
Atas rencana pembentukan Densus Tipikor, kata Febri, KPK menyayangkan ada anggota DPR yang masih berpikir bahwa KPK merupakan lembaga yang bersifat sementara.
Menurut dia, hal ini karena adanya kekeliruan pemahaman oleh anggota DPR soal istilah KPK sebagai lembaga ad hoc.
Baca: Ini Alasan Polri Ingin Bentuk Densus Tipikor
Febri mengatakan, ad hoc itu berarti bahwa pembentukan KPK untuk tujuan tertentu, bukan dibentuk untuk tujuan sementara.
"Karena KPK sebenarnya dibentuk sebagai amanat dari reformasi pada saat itu. Ada dua TAP MPR, TAP MPR 98 dan TAP MPR 2001, yang cukup jelas mengamanatkan pembentukan KPK," kata Febri, di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (24/5/2017).
Dengan demikian, lanjut Febri, seandainya KPK digantikan dengan institusi lain, hal ini bisa dipahami sebagai upaya melemahkan atau membubarkan KPK.
Febri menekankan, selama ini, hubungan KPK dengan institusi penegak hukum lainnya seperti Polri dan Kejaksaan Agung, berjalan baik.
KPK akan memberi dukungan sesuai kewenangan yang dimiliki jika rencana Polri membentuk Densus Tipikor terwujud.
Sinergi antara KPK, Polri, dan Kejaksaan, akan lebih baik dalam memerangi korupsi.
"Sinergi ini akan lebih bagus bagi perang melawan korupsi ketimbang kemudian lembaga-lembaga penegak hukum dibenturkan secara langsung atau tidak langsung," ujar Febri.
Baca: Anggota Komisi III: Polri Akan Bentuk Densus Tipikor setara KPK
Mengenai kemungkinan kerja Densus Tipikor akan tumpang tindih dengan KPK, Febri mengatakan, sudah ada aturan yang membedakan KPK dalam pemberantasan korupsi dengan lembaga penegak hukum lainnya.
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK mengatur bahwa ketika penyelidikan pertama kali dilakukan oleh Kepolisian dan Kejaksaan, maka yang dilakukan KPK adalah berkoordinasi.
Kemudian, lembaga penegak hukum lain itu perlu melaporkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada KPK.
Adapun, jika yang melakukan penyelidikan pertama adalah KPK, maka penyelidikan di Kepolisian dan Kejaksaan harus berhenti.
Kewenangan KPK, kata Febri, juga berbeda dengan kewenangan Kepolisian dan Kejaksaan dalam mengusut kasus korupsi.
Hal itu diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.
Pasal ini mengatur bahwa KPK hanya berwenang menangani kasus korupsi dengan indikasi kerugian keuangan negara di atas Rp 1 miliar.
"Kemudian korupsi itu dilakukan oleh penyelenggara negara atau penegak hukum atau menarik perhatian publik dan saya kira tafsirannya sudah sangat jelas di Pasal 11 tersebut. Jadi ada beda kewenangan antara KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan," ujar Febri.
Febri mengatakan, KPK akan memberikan dukungan kepada Polri, seperti halnya Kejaksaan pernah membentuk unit khusus dalam menangani korupsi.
"Kita ingat dulu ada satgas (kejaksaan yang) dilantik 100 orang jaksa untuk menangani khusus tindak pidana korupsi. Tentu kalau memang ada kebutuhan atau ada surat misalnya permintaan ke KPK, kami akan berikan dukungan," ujar Febri.
Keinginan Polri membentuk datasemen khusus tindak pidana korupsi yang setara dengan KPK sudah disetujui sebagai kesimpulan rapat antara Komisi III DPR dan Polri.
Anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu mengatakan, awalnya dalam rapat tersebut sejumlah anggota Komisi III mempertanyakan peranan Polri yang melempem dalam pemberantasan korupsi.
Padahal, dalam Undang-undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK, dijelaskan bahwa pembentukan KPK karena institusi penegak hukum seperti Kepolisian dan Kejaksaan belum optimal dalam menangani kasus perkara pidana korupsi.