JAKARTA, KOMPAS — Pimpinan Mahkamah Konstitusi harus memberikan perhatian serius terhadap kasus hilangnya berkas permohonan sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai (Papua) dan Aceh Singkil (Aceh). Berkas itu hilang diduga dicuri oknum pegawai di lingkungan internal MK sendiri.
Hal ini menjadi tanda awal mulai bobroknya kedisiplinan birokrasi lembaga pengadil regulasi tersebut dan menjadi alarm tanda bahaya bagi adanya upaya oknum membangun jaringan mafia peradilan.
Pada 9 Maret, MK atas nama Kepala Subbagian Pengamanan Dalam (Pamdal) MK Eddy Purwanto membuat laporan polisi atas pencurian berkas sengketa pilkada 2017 di Kabupaten Dogiyai dan Kabupaten Aceh Singkil yang dilakukan dua oknum keamanan atau pamdal (satpam).
Kejelasan mengenai kejadian itu diperoleh dari rekaman kamera pemantau (CCTV) dan keterangan dari dua anggota staf MK yang melihat kejadian pada 28 Februari 2017 itu. Laporan dibuat di Polda Metro Jaya.
Dua petugas keamanan dan seorang kasubbag telah dinonaktifkan guna memudahkan pemeriksaan internal dilakukan oleh MK.
(Baca: Berkas Sengketa Pilkada Dogiyai Diduga Hilang, MK Bentuk Tim Investigasi)
"Mereka telah kami nonaktifkan karena kami memerlukan untuk menggali keterangan dari mereka. MK menganggap hal ini serius dan kami telah membentuk tim investigasi untuk melakukan pemeriksaan internal. Tim investigasi itu terdiri atas kepala-kepala biro," kata Juru Bicara MK Fajar Laksono Soeroso, Selasa (21/3).
Fajar tidak menampik adanya dugaan kuat keterlibatan PNS atau aparat birokrasi dalam peristiwa hilangnya berkas permohonan sengketa pilkada tersebut.
"Kami memastikan perkara permohonan sengketa Pilkada Kabupatan Dogiyai dan Kabupaten Aceh Singkil tetap diproses. Sekalipun berkas mereka dilaporkan hilang, permohonan mereka tetap disidangkan di MK dan MK menjamin bahwa problem pada berkas itu tidak akan mengurangi hak para pemohon untuk dilayani di MK," katanya.
Mulai kelihatan
Secara terpisah, peneliti Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Oce Madril, mengingatkan, praktik mafia peradilan mulai kelihatan hadir di MK. Hilangnya berkas permohonan sengketa dengan dugaan keterlibatan PNS MK menjadi penanda awal adanya upaya pegawai MK bermain-main dengan perkara.
"MK harus berkaca pada Mahkamah Agung yang dulu, mulai dari tukang parkir, pegawai internal, satpam, hingga sopir, yang merasa bekerja di MA bisa memainkan perkara atau mengaku punya kenalan 'orang dalam' sehingga bisa meraup uang dari perkara yang masuk. Pegawai di lingkup pengadilan dengan bebas bermain perkara dengan membangun jaringan hingga ke panitera dan hakim," ujar Oce.
(Baca:
Hal serupa, lanjutnya, bisa berkembang di MK apabila pimpinan MK tidak memandang penting kasus hilangnya berkas perkara sengketa pilkada.
Publik saat ini dalam posisi menunggu sikap tegas pimpinan MK dalam memotong oknum-oknum internal yang mencoba bermain-main dengan sistem.
"Orang dulu melihat MK sangat rapi dan detail. Tidak ada yang berpikir untuk main-main perkara di MK. Kredibilitas lembaga sangat baik. Namun, setelah tertangkapnya Ketua MK Akil Mochtar dan baru-baru ini hakim Patrialis Akbar, mulai terlihat gejala mafia peradilan itu dibangun pelan-pelan di MK," katanya.
Pegawai bisa bebas mengakses berkas dan hal ini sangat berbahaya apabila pegawai tidak memiliki kesadaran akan alur perkara yang baik dan kejujuran atau integritas mereka rendah.
Sementara itu, kuasa hukum pemohon sengketa Pilkada Kabupaten Dogiyai, Rio Ramabaskara, mengatakan, pihaknya telah melaporkan kejadian hilangnya berkas itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Pelaporan kepada KPK itu dilakukan karena pemohon menduga adanya upaya jual-beli perkara yang dilakukan oknum petugas MK untuk mendapatkan keuntungan finansial. (REK)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.