Masih terus berlanjut...
Pada 2012, kasus dugaan penyimpangan pengadaan e-ktp muncul cuma sekelebat di beberapa berita non-mainstream. Itu pun soal Kejaksaan Agung pada 27 Januari 2012 menghentikan penyidikan dengan alasan tak mendapat cukup alat bukti.
Namun, bau busuk tak datang dari satu sumber saja. Kali ini Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) menengarai ada akal-akalan dalam proyek e-KTP, dan tercatat sebagai perkara Nomor 03/KPPU-L/2012.
Meski peserta tender tak hanya menyertakan satu perusahaan, tetapi beberapa dokumen teknis yang diajukan untuk proses tender terindikasi copy paste, alias persis sama. Putusan Komisi ini pun memutuskan ada praktik monopoli dalam pengadaan e-KTP, dalam amar yang dibacakan pada 13 November 2012.
Sampai di situ, suara-suara tentang dugaan korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP hanya muncul selintas dan sesekali. Bisa jadi pas wartawan lagi kurang berita saja, kulik sana-sini lalu ingat masih ada polemik nrithik soal dugaan kasus korupsi ini.
Hingga pada 23 September 2013, M Nazaruddin berkoar soal dugaan mark-up gila-gilaan di proyek pengadaan e-KTP. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini berkoar saat masih diperiksa sebagai saksi untuk perkara lain dugaan korupsi yang waktu itu juga jadi kehebohan tersendiri.
(Baca: Nazaruddin: "Mark-up" Proyek E-KTP Rp 2,5 Triliun)
Gong-nya, KPK menetapkan dua tersangka untuk perkara tersebut, yaitu Sugiharto dan Irman, yang kemudian dakwaannya dibacakan jaksa KPK di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi di Jakarta pada 9 Maret 2017 itu.
Penyebutan sederet nama tokoh dalam dakwaan itu, bisa jadi masih akan memunculkan jejak tambahan dari urusan identitas tunggal yang diduga jadi bancakan banyak kalangan ini.
Maklum, dari semua nama yang disebut itu ada banyak yang bukan manusia tanpa label atau embel-embel.
Semoga urusan identitas yang dibutuhkan buat bikin surat nikah sampai visa untuk jalan-jalan ke luar negeri ini tak membuat ujaran baru semacam “lepas dari mulut harimau, lolos dari mulut buaya, lalu diterkam singa” karena tak tuntas atau malah jadi berkembang tidak jelas juntrungan-nya.
Ingat, menjelang Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta pada 15 Februari 2017 saja sudah ada temuan e-KTP "impor" yang tentu saja palsu.
(Baca: Bea Cukai Temukan Puluhan KTP Palsu yang Dikirim dari Kamboja)
Satu lagi yang banyak tak dikabarkan, dugaan kerugian negara Rp 2,3 triliun yang jadi materi dakwaan itu pun rentan dipersoalkan. Angka tersebut menurut KPK merujuk hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Masalahnya, pada 9 Desember 2016 Mahkamah Agung mengeluarkan surat edaran yang isinya antara lain menyebut kerugian negara dalam kasus korupsi tak bisa mengacu kepada hasil audit BPKP.
Nah loh! Masih panjang sepertinya drama e-KTP ini....
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.