Memasuki 2011...
Kementerian Keuangan baru menetapkan anggaran tahun jamak untuk pengadaan e-KTP pada 2011, dengan penggunaan multiyears pada 2011 dan 2012. Nilai yang disetujui adalah Rp 5,9 triliun.
Kembali ke soal bau busuk yang menguar dari pengadaan e-KTP, penanganan kasus di Kejaksaan Agung tersebut terus berlanjut. Gelar perkara kemudian dilakukan pada 13 Mei 2011, pada masa Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung sudah dijabat Jasman Panjaitan.
Bau tak sedap dari pengadaan e-KTP juga terendus sebagian kalangan di parlemen, bahkan dari Komisi II DPR yang sekarang disebut dalam dakwaan kecipratan 5 persen alokasi dana setelah dipotong pajak.
Satu artikel harian Kompas yang kemudian juga diunggah di Kompas.com pada edisi 11 Agustus 2011, misalnya, mengutip panjang lebar pernyataan Arif Wibowo tentang perlunya evaluasi segera untuk proyek e-KTP. Dia pun menengarai ada dugaan penyelewengan dana dalam proses pengadaan itu.
Menjadi pertanyaan tersendiri ketika kemudian nama Arif juga muncul dalam dakwaan yang dibacakan pada 9 Maret 2017 tersebut.
“Padahal sejak 2011 saya sudah teriak kencang soal kasus ini, bagaimana bisa sekarang nama saya disebut dalam dakwaan tanpa pernah saya diperiksa dan memberikan keterangan ke KPK,” ujar Arif saat dimintai konfirmasi lewat aplikasi layanan pesan, Jumat (10/3/2017) pagi.
(Baca juga: Geger Nama di Kasus E-KTP, Satu Lagi Drama Urusan Identitas Tunggal)
Baru busuk kejanggalan proyek triliunan rupiah ini antara lain juga tercium Government Watch (Gowa). Andi W Syahputra, Direktur Eksekutif Gowa saat itu, kepada wartawan di KPK, Selasa (23/8/2011), menyebut klasifikasi fakta penyimpangan selama pelaksanaan pengadaan e-KTP meliputi pralelang, penyelenggara lelang, dan pelaksanaan pekerjaan yang dilelang.
Menurut Andi, hasil audit forensik Gowa menemukan tak kurang dari 11 penyimpangan, pelanggaran, dan kejanggalan dalam proses pengadaan lelang tersebut. Asumsi potensi kerugian negara setidaknya terjadi dari penggelembungan harga beberapa perhitungan pengadaan barang.
"Yang paling besar adalah pengadaan blanko berbasis chip. Jumlahnya mencapai Rp 1 trilun lebih," ujar Andi, antara lain seperti dikutip Tribunnews.com, Selasa (23/8/2011).
Andi menyebut, dalam kontrak kerja perhitungan harga satuan blanko dipatok Rp 16.000. Padahal, kata dia, per lembar blanko berbasis chip kapasitas 8K di pasar domestik dan internasional dibanderol tak lebih dari Rp 10.000.
Di luar itu, diduga ada pula markup untuk harga data center e-KTP dengan kerugian negara tak kurang dari Rp 7 miliar.
ICW menyebut juga potensi kerugian negara yang datang dari sia-sianya proyek sistem informasi administrasi kependudukan (SIAK) pada kurun 2006-2009. Dananya juga bukan seribu atau dua ribu rupiah, tetapi ratusan miliar rupiah.
Ditengarai, data SIAK pada kurun itu tak bisa terintegrasi ke dalam data NIK—kelanjutan dari proyek SIAK juga—yang diluncurkan pada 2010.