JAKARTA, KOMPAS.com - Modus korupsi berupa jual beli jabatan terungkap saat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan Bupati Klaten Sri Hartini, pada akhir Desember 2016 lalu.
Pasca penangkapan tersebut, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menduga jual beli jabatan tidak hanya terjadi di Kabupaten Klaten, tapi juga di beberapa daerah di Indonesia.
Komisioner KASN Waluyo mengatakan, sepanjang tahun 2016, pihaknya menerima 35 aduan yang menyangkut dugaan pelanggaran norma dasar dan kode etik perilaku ASN.
Aduan tersebut mencakup dugaan jual beli jabatan oleh kepala daerah.
"Modusnya beragam, ada yang melalui staf ahli. Misalnya untuk bertahan dalam jabatan tertentu harus membayar Rp 150 juta. Jadi banyak yang menggunakan perantara," kata Waluyo dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Kamis (12/1/2017).
Kepala daerah dan dinasti politik
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai, birokrasi bukan satu-satunya celah terjadinya praktik jual beli jabatan.
Menurut dia, faktor utama terjadinya modus korupsi tersebut adalah kepala daerah sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di daerah.
Penelitian ICW menunjukkan bahwa birokrasi hanya sebagai alat atau eksekutor dari keputusan yang dibuat oleh pejabat tinggi, atau kepala daerah.
Dalam konteks jual beli jabatan, menurut Ade, para bawahan memang dipaksa oleh kepala daerah untuk membeli jabatan.
Birokrasi digunakan untuk melayani keinginan atasan.
Misalnya, untuk kenaikan jabatan, seorang pejabat pemda harus menyetorkan uang kepada kepala daerah.
Tak hanya itu, untuk mempertahankan posisi, seorang pejabat juga dipaksa untuk mengeluarkan uang.
Selain itu, pemerintah daerah yang dikuasai dinasti politik dinilai paling berpotensi terjadinya jual beli jabatan.
Praktik jual beli jabatan bisa saja digunakan dinasti politik untuk memenuhi kebutuhan dana dalam jumlah besar.