Dinamis dan egaliter
Dalam artikelnya, "The defeat of centralized paternalism" (2006), Dirk Tomsa menyatakan:
“As many Indonesian parties continue to be dominated by charismatic leaders… But it is a very different story with Indonesia’s biggest and longest serving party, Golkar…. Golkar today is actually the exact opposite of a paternalistic party... Golkar more than any other Indonesian parties, relies primarily on its armada of local officials at the grassroots level”
Ketika partai-partai baru yang lahir di era reformasi terkungkung dalam kuasa patron, Partai Golkar justru bergerak dinamis dan lebih egaliter.
Golkar berhasil mengadopsi semangat desentralisasi di mana kekuataan-kekuatan politik daerah mengambil peran signifikan. Mereka tidak mudah ditaklukkan.
Menjelang Pemilu 2004, Golkar memunculkan gagasan Konvensi untuk menjaring calon presiden. Ini adalah gagasan baru yang justru diprakarsai oleh partai dari kekuatan lama Orde Baru.
Dari konvensi inilah muncul nama-nama baru yang kemudian menjadi pemain-pemain utama politik nasional. Mereka adalah Wiranto, Prabowo Subianto, Surya Paloh, dan Akbar Tanjung sendiri. Bahkan intelektual penggerak reformasi, Nurcholish Madjid, juga ikut dalam konvensi, walaupun kemudian mundur di tengah jalan.
Besar dugaan waktu itu bahwa konvensi Golkar hanyalah akal-akalan Akbar Tanjung untuk maju sebagai calon presiden. Mereka menganggap Akbar akan memenangkan konvensi dengan mudah.
Namun di luar dugaan, Akbar Tanjung tumbang. Elit-elit partai daerah seolah-olah melakukan pembangkangan pada sang ketua umum yang juga ikut dalam konvensi. Yang memenangkan konvensi justru Jenderal Wiranto.
Semangat pembaruan yang didengungkan oleh partai ini berbuah manis. Pada Pemilu kedua era-Reformasi, 2004, Golkar keluar sebagai pemenang pertama.
Namun begitu, calon hasil konvensi yang diusung oleh Golkar, Wiranto, kandas dalam Pemilu Presiden langsung kala itu dikalahkan oleh Susilo Bambang-Yudhoyono yang berpasangan dengan tokoh Golkar lainnya, Jusuf Kalla.
Pada tahun yang sama, Golkar menggelar suksesi kepemimpinan dengan terpilihnya Jusuf Kalla sebagai Ketua Umum. Golkar kemudian secara resmi menjadi partai pendukung pemerintah.
Golkar memiliki aparatus organisasi yang mendukungnya mampu beradaptasi dengan cepat pada perubahan. Kemampuan ini mendorong partai lebih fleksibel dan dinamis.
Hampir tidak mungkin lagi mengembalikan partai ini pada model kekuasaan sentralistik seperti pada era Soeharto. Akbar Tanjung, arsitek perubahan partai, bahkan merasakan sendiri ketika ia ditumbangkan oleh gerakan Iramasuka, suatu koalisi elit-elit partai daerah.
Demikian pula yang dialami oleh Abu Rizal Bakrie. Walaupun Bakrie begitu digadaya dengan dukungan finansial besar, tapi itu tidak menghalangi gerakan pembangkangan yang dimotori oleh para aktivis muda partai.
Melihat transformasi besar yang terjadi di tubuh partai Golkar sejak reformasi bergulir, gagasan memunculkan Soeharto sebagai ikon partai menjadi kurang relevan, bahkan bisa jadi kontra-produktif.
Mengembalikan kejayaan Golkar bukan dengan mundur ke belakang, tapi menatap jauh ke depan, mencari semua kemungkinan perubahan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.