Tentu pikiran ini tak boleh disalahkan. Kerja puncak dan final, kalau diumpakan dengan kompetisi sepakbola, memang terjadi saat memastikan siapa para kandidat yang disiapkan parpol untuk dipilih rakyat; baik calon presiden, kepala daerah maupun anggota legislatif.
Karir para "pemain politik" (politisi) salah satunya ditentukan di saat pemilu itu. Jadi itu keniscayaan.
"Politisi itu cuma bisa buat janji. Janji sana janji sini", kata pengkritik lagi.
Inipun tak bisa disalahkan. Tetapi, sesungguhnya salah satu syarat untuk jadi politisi adalah kemampuannya bicara dan terukur melepas janji politik. Yang tidak pas adalah berjanji berlebihan tak masuk akal.
Calon pemimpin memyampaikan janjinya jika kelak ia dipilih. Jadi jualannya tentulah "janji" itu. Bagaimana mungkin memilih si A sebagai calon bupati jika ia tidak memberikan janji, karena pemilih sama sekali tidak tahu siapa sang calon itu.
Dalam bahasa undang-undang pemilu disebut dengan visi, misi dan program kerja. Sekali lagi yang tidak boleh itu berjanji berlebihan. Kata bijak Batak mengingatkannya begini:
"Dang na matutung pamanganta mandokkon api hasian, unang ma holan hata hata mandok holong roham. Ai dang tarbahen haulahan molo dung salpu".
Tak akan terbakar mulut sekalipun mengucapkan beribu kali kata api, jadi janganlah katakan janji sesuka hati, sebab jika sudah diucapkan tak mungkin ditarik kembali. Lidah memang tak bertulang.
Kerumunan dan Suara
Suara dalam pemilihan umum diwujudkan dalam coblosan pada kartu suara yang disediakan di TPS di mana pemberi suara itu menetap dan menjatuhkan hak pilihnya.
Namun sejatinya sifat dari suara, adalah hal yang tidak terpegang. Tidak tetap, dan bisa menghilang.
Hari ini pemilik suara memilih seseorang kandidat dalam pemilu dan pilkada yang dianggapnya cukup kompeten untuk menjadi wakil atau pemimpin daerah mereka. Di lain waktu mereka akan memberikan suaranya untuk partai ataupun orang lain dengan berbagai alasan, mungkin karena kecewa aspirasi tidak tersampaikan, atau mungkin karena ada yang lebih popular pada saat kampanye, dan lain lain.
Begitulah keadaan dan siklusnya. Selalu berulang. Tugas parpol untuk terus memastikan kinerja politiknya mendapat kepercayaan publik; tiap waktu, tiap saat tanpa henti.
Tiba atau belum saat pengadilan oleh rakyat untuk memilih, politisi tak boleh berhenti melakukan kerja politik. Tak ada pesta yang tak berakhir. Semua suka berpesta, sedikit yang mau cuci piring. Padahal piring harus segera dicuci dan dikembalikan ke tempatnya begitu pesta berakhir. Sebab besok pesta akan datang lagi.
Visi dan misi parpol menjadi landasan politisi dan kader dalam kegiatan berpolitik yaitu untuk menjadi perpanjangan aspirasi rakyat mulai dari desa, kecamatan, kabupaten dan kota, propinsi sampai pusat.