Delapan mantan menteri pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi hadir memenuhi undangan Menteri Yuddy Chrisnandi di kantornya, di Jakarta, Selasa (23/2).
Tak hanya nostalgia, pertemuan itu juga menjadi ajang curhat atas persoalan pegawai honorer yang tak kunjung tuntas.
Para mantan menteri itu adalah Emil Salim (1971-1973), JB Sumarlin (1973-1983), Sarwono Kusumaatmadja (1988-1993), Hartarto Sastrosunarto (1998-1999), Freddy Numberi (1999-2000), Anwar Suprijadi (Juni-Agustus 2001), Taufiq Effendi (2004-2009), dan Azwar Abubakar (2011-2014).
Pertemuan berlangsung sekitar empat jam. Di sela-sela pertemuan, Yuddy mengajak mereka melihat sejumlah ruangan di Kementerian PANRB.
Yuddy sebenarnya sudah lama menginginkan pertemuan itu untuk menyerap ide dari seniornya terkait program-program Kementerian PANRB.
Mulai dari reformasi birokrasi, menciptakan tata kelola pemerintahan yang baik, mewujudkan aparatur sipil negara (ASN) yang berintegritas dan profesional, hingga penyempurnaan pelayanan publik.
Salah satu yang mencuat dalam pertemuan itu adalah masalah pegawai honorer kategori II yang tak kunjung tuntas. Yuddy banyak curhat kepada para seniornya terutama terkait rapat kerja Kementerian PANRB dengan Komisi II DPR, Senin (22/2).
"Selama setahun terakhir, rapat dengan Komisi II DPR yang dibahas hanya soal honorer. Padahal, di luar itu banyak tugas Kemenpan yang lain yang membutuhkan masukan juga dari DPR," ujarnya.
Setiap kali rapat, materi yang didesakkan Komisi II tetap sama. Mereka meminta Kementerian PANRB mengangkat 439.956 pegawai honorer menjadi calon pegawai negeri sipil (CPNS) langsung tanpa seleksi.
Hal ini sulit dipenuhi karena Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN mengharuskan setiap CPNS diseleksi.
Selain itu, tidak mudah memenuhi permintaan itu karena latar belakang pendidikan mayoritas pegawai honorer adalah lulusan SMA ke bawah. Jika mereka diangkat begitu saja, tuntutan rakyat agar pemerintahan lebih berkualitas bakal sulit terwujud.
Belum lagi, pemerintah menjadi tak mudah mengatasi ketertinggalan dari negara lain jika sumber daya manusia di birokrasi tidak mendukung.
Lebih ironis lagi, saat rapat terakhir Senin lalu, desakan soal pegawai honorer justru disuarakan partai pendukung pemerintah.
"Dulu, partai pemerintah dan oposisi jelas posisinya. Sekarang terbalik. Partai pendukung pemerintah justru menyerang pemerintah, oposisi justru bersikap sebaliknya," kata Yuddy.
Jernih
Para mantan menpan itu melihat persoalan pegawai honorer dengan lebih jernih. Mereka paham betul kondisi birokrasi dan dampaknya jika pegawai honorer diangkat tanpa seleksi.
Freddy Numberi mengatakan, tak sedikit pengangkatan pegawai honorer tidak dilandasi oleh kebutuhan pemerintah.
Ini terutama terjadi di daerah dengan pengangkatan pegawai honorer sarat kepentingan politik kepala daerah.
Misalnya, pengangkatan mantan tim sukses saat pilkada serta kerabat atau teman dekat kepala daerah.
Hal ini dapat berdampak buruk pada pemerintahan. Tuntutan publik agar pemerintahan lebih berkualitas jadi sebatas mimpi.
"DPR tidak perlu selalu diikuti, apalagi kalau desakan DPR melanggar aturan. Terus yakinkan saja DPR atas analisis dan risiko yang telah dibuat Kemenpan jika pegawai honorer diangkat tanpa melalui proses seleksi," tutur Freddy.
Sarwono mengatakan hal senada. Menurut dia, tak tertutup kemungkinan yang mendesak pemerintah melanggar undang-undang sebenarnya telah menjanjikan sesuatu kepada pegawai honorer.
Azwar Abubakar bersikap serupa. "Jangan ada pemutihan pegawai honorer menjadi CPNS. Kalaupun ada, harus melalui seleksi dan sesuai dengan kebutuhan pemerintah," ujarnya.
Selain itu, Azwar mendesak pejabat pembina kepegawaian (menteri/kepala lembaga dan kepala daerah) yang mengangkat pegawai honorer ikut bertanggung jawab atas persoalan pegawai honorer.
"Jangan kemudian kesalahan mereka mengangkat pegawai honorer dilimpahkan ke pemerintah pusat," tambahnya.
Intinya, para mantan menpan itu mendukung pemerintah untuk tetap konsisten dengan kebijakannya. Pengangkatan pegawai honorer harus mengacu pada UU No 5/2014.
Langkah Menteri PANRB menghimpun masukan dari para mantan menpan ini perlu dipertimbangkan juga oleh DPR. Perlu juga masukan dari para akademisi yang menggeluti soal pemerintahan.
Dengan demikian, DPR tak hanya mendesak pemerintah, tetapi juga memahami persoalan pegawai honorer dan birokrasi secara utuh.
Lebih dari itu, DPR juga perlu memperhatikan jutaan warga yang selalu setia mengikuti seleksi CPNS hanya untuk mengejar cita-cita menjadi abdi negara.
Apakah elok jika DPR kemudian mengubur cita-cita mereka hanya untuk meluluskan pegawai honorer yang mayoritas diterima tanpa proses seleksi, hanya semata mengandalkan kedekatan dengan pejabat? (A Ponco Anggoro)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.