MK diminta berani membuat terobosan menghadapi pasal yang mengundang polemik itu, terutama jika memang ada dugaan pelanggaran yang terstruktur, sistematis dan masif dalam gugatan yang diajukan calon kepala daerah.
"Seperti yang kita ketahui bahwa secara konsep hakim bukan sekedar corong undang-undang tatapi dalam situasi tertentu ia dapat melampaui undang-undang atau dapat menerobos undang-undang dengan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan atau HAM untuk menemukan hukum baru yang dapat menyelesaikan permasalahan hukum yang sedang ditanganinya," papar Sekretaris Jenderal Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) Achmad Saifudin Firdaus, Selasa (12/11/2016).
Saifudin mengingatkan, terobosan hukum bisa dilakukan oleh hakim MK karena diatur dalam konstitusi.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kemudian, ketentuan tersebut dituangkan lagi dalam Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi, Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim.
"Artinya jika MK harus tunduk pada ketentuan Pasal 158 UU Pilkada lalu mengabaikan kecurangan-kecurangan yang nyata terjadi dalam penyelenggaraan Pilkada, maka sejatinya MK sebagai The Guardian of The Constitution telah mengkhianati amanat Konstitusi itu sendiri," kata Saifudin.
Saifudin pun mengkritik pernyataan Ketua MK Arif Hidayat yang tak mau memproses sengketa Pilkada jika selisih suaranya lebih dari 2 persen.
Menurut dia, MK terlalu terpaku dengan UU yang ada dan sudah gagal menegakkan hukum yang bersifat terobosan.
"Pernyataan Ketua MK tersebut mengakibatkan MK terjebak dalam keadilan prosedural dimana seharusnya kedudukan MK sebagai The Guardian of The Constitution, menjadi turun tingkatannya hanya sebagai corong undang-undang, hal ini merupakan preseden buruk bagi perjalanan MK ke depan," kata dia.
Dalam Pasal 158 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2015 dijelaskan bahwa di provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan dua juta jiwa, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 2 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi.
Adapun, provinsi dengan jumlah penduduk 2 juta hingga 6 juta, pengajuan perselisihan perolehan suara dilakukan jika terdapat perbedaan paling banyak sebesar 1,5 persen dari penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU provinsi.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.