Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saut Situmorang, Ahli Intelijen yang Masuk ke KPK

Kompas.com - 18/12/2015, 08:34 WIB
Abba Gabrillin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Staf Ahli Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Saut Situmorang, menjadi satu dari lima orang yang dipilih untuk menjadi pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Saut yang juga akademisi pengajar ilmu kompetitif intelijen di Universitas Indonesia tersebut memperoleh 37 suara dukungan dalam voting yang dilakukan Komisi III DPR, Kamis (17/12/2015).

Saut pernah menjadi Sekretaris Program Pendidikan Regular Angkatan ke-50 Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) pada 2013. 

Ia juga pernah mengikuti empat kali seleksi calon pimpinan KPK, tetapi selalu gagal terpilih.

Saat mengikuti tahapan wawancara oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK, Saut menyatakan bahwa ia termotivasi untuk mendaftar sebagai calon pimpinan KPK karena ingin ikut andil dalam pemberantasan korupsi.

Ia juga ingin mencontohkan kepada para mahasiswanya untuk tidak takut mencoba profesi yang dianggap berbahaya.

"Jadi, pimpinan KPK itu enggak gampang," kata Saut di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Rabu (26/8/2015).

Meski memiliki keunggulan berupa keahlian pada bidang khusus yang dinilai dapat menunjang kinerja KPK, keberhasilan Saut mencapai kursi pimpinan sementara lembaga antikorupsi tersebut diwarnai beberapa pernyataan kontroversi.

Bahkan, beberapa di antaranya terdengar berlawanan dengan semangat pemberantasan korupsi.

Dalam tes wawancara, anggota Pansel KPK sempat mengonfirmasi laporan masyarakat mengenai kendaraan Jeep Wrangler hijau milik Saut.

Selain menggunakan nomor kendaraan yang didesain sendiri, yakni B 54U UTS, Saut juga dituduh tidak membayar pajak kendaraan sejak 2013.

Pertanyaan serupa juga diajukan anggota Komisi III DPR dalam proses fit and proper test capim KPK.

Menjawab hal tersebut, Saut bahkan bersedia untuk menunjukkan STNK sebagai bukti membayar pajak.

"Soal mobil, mungkin ada orang yang ke rumah, lalu muncul berita ada calon yang nomor STNK-nya mirip dengan namanya. Saya hanya minta nomor itu  ke Polantas, kebetulan ada teman saya yang dulu di Lemhannas," kata Saut.

Pansel KPK juga mengklarifikasi perusahaan yang dimiliki oleh Saut, yakni PT Indonesia Cipta Investama, yang dilaporkan menjadi tempat pencucian uang. Saut membantahnya.

Ia menyatakan bahwa perusahaan itu didirikan untuk memenuhi syarat saat dirinya ingin bergabung dengan komunitas peminat persaingan intelijen untuk mendapatkan modul sebagai bahan ajar.

Kepada Komisi III DPR, Saut menegaskan bahwa ia tidak menerima keuntungan apa pun dari perusahaan tersebut.

Tak ingin mengusut kasus BLBI dan Century

Saut pernah menyatakan bahwa jika terpilih sebagai pimpinan KPK, ia tidak akan membuka kembali kasus lama, seperti kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus Bank Century.

Ia beralasan karena prinsip efisiensi.

"Kita harus mulai dari nol. Saya bilang saya akan lewatkan kasus Century dan BLBI. Kita harus pikirkan juga apakah itu sesuai dengan efisiensi," kata Saut.

Tak ingin banyak bicara di media massa

Saut menyatakan tidak akan banyak berbicara di media jika terpilih sebagai pimpinan KPK. Menurut dia, hal ini akan memengaruhi indeks korupsi negara.

Indeks korupsi suatu negara, kata Saut, diperoleh melalui survei pendapat masyarakat tentang korupsi di negaranya.

Sementara itu, persepsi publik akan banyak dipengaruhi atas apa yang dilihat dan didengar melalui pemberitaan di media massa.

Meski banyak koruptor yang telah ditangkap dan dipidana, persepsi publik akan sulit dikendalikan sehingga terus beranggapan bahwa korupsi masih berada pada level yang parah.

Meski demikian, Saut memiliki beberapa strategi yang dipersiapkan jika ia terpilih sebagai pimpinan KPK.

Salah satunya ialah membangun sebuah basis data untuk menghitung seluruh kerugian negara. Menurut Saut, basis data diperlukan sebagai salah satu cara untuk mengetahui seberapa besar jumlah kerugian negara.

"Saya akan bangun data besar sehingga tahu pajak itu berapa banyak yang dimainkan. Batubara itu sebesar apa yang menjadi kerugian. Kita tidak akan tahu kalau tidak punya data," kata dia.

Ia mencontohkan, terkait Freeport, data yang memadai akan memudahkan untuk diketahui seberapa besar kerugian negara yang dialami selama ini.

Selain itu, seberapa besar kerugian negara yang hilang akibat pencurian ikan oleh nelayan ilegal.

Saut menjamin sistem data yang besar tersebut dapat dibangun selama jangka waktu 1,5 tahun.

Selain untuk mengetahui kerugian, memiliki data yang besar juga dapat dimanfaatkan KPK untuk melakukan fungsi pencegahan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Dukung Jokowi Gabung Parpol, Projo: Terlalu Muda untuk Pensiun ...

Nasional
PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

PT Telkom Sebut Dugaan Korupsi yang Diusut KPK Berawal dari Audit Internal Perusahaan

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com