Sebelum pemeriksaan berakhir, MKD memutuskan untuk memutar rekaman tersebut.
Banyak hal mengejutkan terungkap pada percakapan yang berlangsung di sebuah hotel di kawasan SCBD Jakarta itu.
Selain pembahasan renegoisasi kontrak Freeport, ada polemik pergantian Kapolri, Pilpres 2014, rencana pembangunan PLTA di Papua, hingga penyebutan Presiden Jokowi sebagai seorang yang "koppig".
Sejumlah nama terdengar disebut ketiganya, seperti Darmawan Prasojo, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Wakil Kepala Polri Budi Gunawan, hingga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Namun, terkait perbincangan renegoisasi kontrak Freeport, nama Luhut cukup banyak disebut. Sehari kemudian, giliran MKD memanggil Maroef dan Riza.
Namun, hanya Maroef yang memenuhi panggilan itu.
Dalam pemeriksaan itu, tindakan perekaman Maroef dipersoalkan. Mereka menilai tindakan Maroef ilegal karena ia tak memiliki legitimasi untuk melakukan hal itu.
Belakangan, argumentasi sejumlah anggota MKD dimentahkan Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti. Menurut Badrodin, rekaman yang dibuat Maroef merupakan data pribadi dan bukan sebuah upaya penyadapan.
Kapolri pun mengibaratkan rekaman yang dibuat Maroef seperti rekaman kamera CCTV yang ada di ruangannya.
Selain mempersoalkan rekaman, para anggota MKD juga mencecar Maroef dengan maksud perekaman itu.
Maroef menjelaskan bahwa rekaman itu dibuat sebagai bentuk proteksi diri karena ada kecurigaan yang dirasakan mantan Wakil Kepala BIN itu sejak pertemuan kedua dengan Novanto dan Riza pada Mei 2015.
Sidang tertutup yang ditutupi
Sepekan kemudian, giliran MKD memeriksa Setya Novanto. Namun, ada yang berbeda dari pemeriksaan Novanto dari dua pemeriksaan sebelumnya.
Sejak awal, pemeriksaan Novanto telah dilakukan secara tertutup.
Pemeriksaan yang dipimpin Kahar Muzakir itu bahkan tidak menyisakan ruang bagi publik untuk mengetahui apakah permintaan tertutup itu berasal dari Novanto atau MKD.
Dalam pemeriksaan itu, Novanto membantah semua dalil aduan yang dilaporkan Sudirman ke MKD.
Ia menganggap Sudirman tidak memiliki legal standing dalam membuat laporan.
Sementara itu, meski mengakui adanya pertemuan tersebut, Novanto enggan mengakui isi percakapan yang direkam Maroef.
Pada hari yang sama, Presiden Jokowi marah setelah membaca seluruh isi transkrip percakapan itu.
Ia marah karena namanya dicatut dan disebut meminta saham kepada Freeport. Menurut dia, tindakan tersebut tidak pantas dan menjatuhkan wibawa negara.
Selain di MKD, kasus "Papa Minta Saham" ini juga ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kejagung melihat ada unsur pemufakatan jahat sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Dalam kasus ini, Kejagung telah mengantongi bukti otentik atas rekaman percakapan tersebut yang dipinjam langsung dari Maroef.
Selain itu, Kejagung juga telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya Maroef, Sudirman, dan sekretaris pribadi Novanto, Dina.
Aksi tiga pembela Setya Novanto
Di tengah proses yang bergulir di MKD, tiga pembela Novanto di MKD dari Fraksi Golkar, Kahar Muzakir, Adies Kadir, dan Ridwan Bae, terlihat hadir saat Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menggelar konferensi pers di kantornya, Jumat (11/12/2015) lalu.
Tindakan mereka oleh anggota MKD, Akbar Faizal, dianggap tidak etis.
Sebab, pada saat yang sama, Luhut telah dijadwalkan pemanggilannya untuk diperiksa sebagai saksi pada 14 Desember 2015.
Dalam konferensi pers itu, Luhut membantah secara tegas dirinya terlibat dalam kasus ini.
Ia pun memaparkan kronologi persoalan yang ada versi dirinya. Berdasarkan kronologi versi Luhut, selama ini, ia selalu meminta Presiden Jokowi agar melakukan kajian mendalam jika ingin berbicara mengenai renegosiasi kontrak Freeport.
Kronologi itu lantas disampaikan Luhut ketika menjalani pemeriksaan di MKD. Selain itu, ia juga mengklarifikasi soal penyebutan namanya dalam percakapan tersebut.