Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berakhirnya Drama Kasus Minta Saham di MKD...

Kompas.com - 17/12/2015, 10:16 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Setya Novanto secara resmi telah mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua DPR RI periode 2014-2019, Rabu (16/12/2015) malam.

Keputusan tersebut diambil di tengah tahapan konsinyasi yang dilakukan Mahkamah Kehormatan Dewan untuk menentukan putusan kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Tepat satu bulan lalu, 16 November 2015, Menteri ESDM Sudirman Said melaporkan Novanto ke MKD.

Ia diduga telah meminta sejumlah saham kepada PT Freeport Indonesia dengan mengatasnamakan Presiden dan Wakil Presiden.

Permintaan itu disampaikan saat Novanto berbincang dengan pengusaha Riza Chalid dan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin pada 8 Juni 2015.

Dalam laporannya, Sudirman menyertakan salinan percakapan sepanjang 11 menit 38 detik berikut transkrip percakapan sebanyak tiga lembar.

Namun, rekaman dan transkrip kasus itu justru dipersoalkan.

Selain dianggap tidak utuh, para "pembela" Novanto menilai tidak ada permintaan saham yang disampaikan secara langsung Wakil Ketua Umum Partai Golkar hasil Munas Bali itu kepada Maroef.

Di tengah proses verifikasi yang dilakukan MKD, sempat muncul upaya untuk menggagalkan kelanjutan kasus tersebut.

Kedudukan hukum Sudirman Said

Legal standing Sudirman sebagai pelapor pun dipersoalkan sejumlah anggota MKD. Mereka menganggap status Sudirman yang sebagai menteri tidak masuk ke dalam salah satu ketentuan di dalam peraturan Bab IV Pasal 5 ayat (1) tentang Tata Beracara MKD, yaitu:

a. Pimpinan DPR atas aduan anggota terhadap anggota;
b. Anggota terhadap pimpinan DPR atau pimpinan AKD; dan/atau
c. Masyarakat secara perseorangan atau kelompok terhadap anggota, pimpinan DPR, atau pimpinan AKD.

MKD kemudian menghadirkan seorang ahli bahasa untuk menentukan apakah Sudirman dapat masuk ke dalam kategori pelapor sesuai ketentuan itu.

Ahli bahasa bernama Yayah Bachria kemudian menyatakan jika Sudirman dapat dikategorikan sebagai pelapor.

Upaya penggagalan lain muncul manakala Sudirman menyebut jika percakapan itu sebenarnya terjadi selama 120 menit. Namun, hal itu tidak sinkron dengan salinan rekaman yang diserahkan Sudirman ke MKD.

Sudirman pun ditantang untuk menyerahkan seluruh salinan rekaman. Pada 24 November 2015, MKD memutuskan laporan Sudirman dapat dilanjutkan ke tahap persidangan.

Sehari setelah keputusan itu, Fraksi Golkar mulai mengganti anggotanya di MKD. Tiga orang ditugaskan sebagai anggota baru, yaitu Kahar Muzakir menggantikan posisi Hardisoesilo sebagai Wakil Ketua MKD, Ridwan Bae dan Adies Kadir masuk menggantikan Dadang S Muchtar dan Budi Supriyanto.

Gebrakan pun dilakukan.

Para "pemain pengganti" itu meminta agar hasil rapat pada 24 November dianulir.

Permintaan itu disampaikan ketika MKD tengah menggelar rapat internal untuk menyusun jadwal persidangan kasus "Papa Minta Saham" itu pada 30 November 2015.

Mereka kembali mempersoalkan legal standing Sudirman dan rekaman yang dianggap diperoleh secara ilegal.

Langkah ketiga anggota itu gagal setelah dalam voting yang dilangsungkan sehari kemudian, mereka kalah telak.

Meskipun telah dibantu Sufmi Dasco Ahmad dan Supratman Andi Agtas dari Gerindra serta Zainut Tauhid dari PPP, skor terakhir voting 11:6. Mayoritas anggota MKD ingin kasus ini dilanjutkan.

Sidang dan drama "Yang Mulia"

Pada 2 Desember 2015, MKD mulai menggelar sidang dugaan pelanggaran etik Novanto. Sebagai permulaan, Sudirman diperiksa MKD sebagai pelapor.

Secara mengejutkan, Sudirman menyerahkan salinan rekaman percakapan utuh sepanjang 120 menit kepada MKD, yang diperolehnya dari Maroef.

Sempat terjadi perdebatan di antara "Yang Mulia" yang memeriksa Sudirman.

Sebagian dari mereka menganggap rekaman itu ilegal, belum terverifikasi, dan tidak perlu diputar.

Namun, sebagian besar lain menilai rekaman itu perlu diputar di muka sidang untuk membuktikan semua tuduhan yang dilayangkan Sudirman kepada Novanto.

Proses pemeriksaan Sudirman cukup panjang, mulai dari pukul 13.00 WIB hingga menjelang tengah malam.

Sebelum pemeriksaan berakhir, MKD memutuskan untuk memutar rekaman tersebut.

Banyak hal mengejutkan terungkap pada percakapan yang berlangsung di sebuah hotel di kawasan SCBD Jakarta itu.

Selain pembahasan renegoisasi kontrak Freeport, ada polemik pergantian Kapolri, Pilpres 2014, rencana pembangunan PLTA di Papua, hingga penyebutan Presiden Jokowi sebagai seorang yang "koppig".

Sejumlah nama terdengar disebut ketiganya, seperti Darmawan Prasojo, Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan, Wakil Kepala Polri Budi Gunawan, hingga Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.

Namun, terkait perbincangan renegoisasi kontrak Freeport, nama Luhut cukup banyak disebut. Sehari kemudian, giliran MKD memanggil Maroef dan Riza.

Namun, hanya Maroef yang memenuhi panggilan itu.

Dalam pemeriksaan itu, tindakan perekaman Maroef dipersoalkan. Mereka menilai tindakan Maroef ilegal karena ia tak memiliki legitimasi untuk melakukan hal itu.

Belakangan, argumentasi sejumlah anggota MKD dimentahkan Kapolri Jenderal (Pol) Badrodin Haiti. Menurut Badrodin, rekaman yang dibuat Maroef merupakan data pribadi dan bukan sebuah upaya penyadapan.

Kapolri pun mengibaratkan rekaman yang dibuat Maroef seperti rekaman kamera CCTV yang ada di ruangannya.

Selain mempersoalkan rekaman, para anggota MKD juga mencecar Maroef dengan maksud perekaman itu.

Maroef menjelaskan bahwa rekaman itu dibuat sebagai bentuk proteksi diri karena ada kecurigaan yang dirasakan mantan Wakil Kepala BIN itu sejak pertemuan kedua dengan Novanto dan Riza pada Mei 2015.

Sidang tertutup yang ditutupi

Sepekan kemudian, giliran MKD memeriksa Setya Novanto. Namun, ada yang berbeda dari pemeriksaan Novanto dari dua pemeriksaan sebelumnya.

Sejak awal, pemeriksaan Novanto telah dilakukan secara tertutup.

Pemeriksaan yang dipimpin Kahar Muzakir itu bahkan tidak menyisakan ruang bagi publik untuk mengetahui apakah permintaan tertutup itu berasal dari Novanto atau MKD.

Dalam pemeriksaan itu, Novanto membantah semua dalil aduan yang dilaporkan Sudirman ke MKD.

Ia menganggap Sudirman tidak memiliki legal standing dalam membuat laporan.

Sementara itu, meski mengakui adanya pertemuan tersebut, Novanto enggan mengakui isi percakapan yang direkam Maroef.

Pada hari yang sama, Presiden Jokowi marah setelah membaca seluruh isi transkrip percakapan itu.

Ia marah karena namanya dicatut dan disebut meminta saham kepada Freeport. Menurut dia, tindakan tersebut tidak pantas dan menjatuhkan wibawa negara.

Selain di MKD, kasus "Papa Minta Saham" ini juga ditangani oleh Kejaksaan Agung. Kejagung melihat ada unsur pemufakatan jahat sebagaimana diatur di dalam Pasal 15 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.

Dalam kasus ini, Kejagung telah mengantongi bukti otentik atas rekaman percakapan tersebut yang dipinjam langsung dari Maroef.

Selain itu, Kejagung juga telah memeriksa sejumlah saksi, di antaranya Maroef, Sudirman, dan sekretaris pribadi Novanto, Dina.

Aksi tiga pembela Setya Novanto

Di tengah proses yang bergulir di MKD, tiga pembela Novanto di MKD dari Fraksi Golkar, Kahar Muzakir, Adies Kadir, dan Ridwan Bae, terlihat hadir saat Menko Polhukam Luhut Binsar Pandjaitan menggelar konferensi pers di kantornya, Jumat (11/12/2015) lalu.

Tindakan mereka oleh anggota MKD, Akbar Faizal, dianggap tidak etis.

Sebab, pada saat yang sama, Luhut telah dijadwalkan pemanggilannya untuk diperiksa sebagai saksi pada 14 Desember 2015.

Dalam konferensi pers itu, Luhut membantah secara tegas dirinya terlibat dalam kasus ini.

Ia pun memaparkan kronologi persoalan yang ada versi dirinya. Berdasarkan kronologi versi Luhut, selama ini, ia selalu meminta Presiden Jokowi agar melakukan kajian mendalam jika ingin berbicara mengenai renegosiasi kontrak Freeport.

Kronologi itu lantas disampaikan Luhut ketika menjalani pemeriksaan di MKD. Selain itu, ia juga mengklarifikasi soal penyebutan namanya dalam percakapan tersebut.

Pemeriksaan terhadap Luhut dijadwalkan bersamaan dengan pemeriksaan Riza Chalid. Namun, lagi-lagi pengusaha minyak itu mangkir pada pemanggilan kedua dengan alasan masih berada di luar negeri.

Sehari setelah pemeriksaan Luhut, giliran Akbar mengadukan ketiga pembela Novanto ke MKD.

Tindakan Akbar ini merupakan aksi balasan setelah sebelumnya dilaporkan Ridwan Bae ke MKD atas tuduhan telah membocorkan materi persidangan tertutup kepada awak media.

Jelang pengunduran diri

Jelang konsinyasi yang dilakukan MKD kemarin, muncul drama baru dalam kasus ini.

Akbar Faizal yang sebelumnya melaporkan tiga pembela Novanto dinonaktifkan sebagai anggota MKD oleh pimpinan DPR.

Melalui surat keputusan yang ditandatangani Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, Akbar dinonaktifkan karena dianggap tengah berperkara di MKD menyusul laporan Ridwan.

Akbar menduga ada upaya untuk mengamankan kasus ini jika nantinya mekanisme voting diambil dalam proses pengambilan keputusan.

Ketua Fraksi Nasdem di DPR, Vicktor Laiskodat, ditunjuk sebagai pengganti Akbar.

Sejurus dengan itu, Fraksi PKB juga melakukan pergantian "pemain" di MKD. Anggota Fraksi PKB, Maman Imanulhaq, masuk menggantikan Acep Adang Ruhyat yang dikabarkan tak bisa hadir saat konsinyasi dilangsungkan.

Konsinyasi merupakan sebuah tahapan di MKD sebelum putusan diambil.

Dalam proses itu, 17 anggota MKD memaparkan pandangannya atas kasus yang ditangani.

Dari penyampaian pandangan tersebut, didapati tujuh anggota MKD ingin agar Novanto dihukum berat dan 10 lainnya ingin Novanto dihukum sedang.

Kedudukan terakhir dalam penyampaian pendapat itu adalah 10:7.

Mereka yang meminta hukuman berat ialah Achmad Dimyati Natakusumah (F-PPP), Ridwan Bae, Adies Kadir, dan Kahar Muzakir (F-Golkar), Supratman Andi Agtas dan Sufmi Dasco Ahmad (F-Gerindra), dan Muhammad Prakosa (Fraksi PDI-P).

Sementara itu, mereka yang meminta hukuman sedang ialah Risa Mariska dan Junimart Girsang (Fraksi PDI-P), Vicktor Laiskodat (F-Nasdem), Syarifudin Sudding (F-Hanura), Maman Imanulhaq (F-PKB), Darizal Basir dan Guntur Sasono (F-Demokrat), Surahman Hidayat (F-PKS), A Bakri dan Sukiman (F-PAN).

Anehnya, permintaan hukuman berat itu justru berasal dari kalangan pendukung Novanto.

Sesuai dengan aturan di dalam Pasal 19 ayat (3) Tata Beracara MKD, jika seorang anggota DPR dijatuhi hukuman berat, MKD harus membentuk panel.

Kuat dugaan dengan dibentuknya panel itu, upaya untuk "menyelamatkan" Novanto kembali dilakukan.

Setya Novanto mundur

Setelah semua anggota MKD menyampaikan pandangannya saat konsinyasi, rapat pun sempat diskors pukul 18.00 WIB untuk dilanjutkan kembali pada pukul 19.40 WIB.

Namun, sesaat sebelum pleno digelar, secara mengejutkan, Novanto dikabarkan telah melayangkan surat pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR.

Surat yang ditujukan kepada pimpinan DPR itu ditembuskan ke MKD.

Kabar diterimanya surat pengunduran diri itu pertama kali disampaikan oleh anggota MKD, Sukiman.

Setelah itu, Wakil Ketua MKD Sufmi Dasco Ahmad mengaku sempat dipanggil Novanto ke lobi Gedung Nusantara III.

Ia menyebut, Novanto menyerahkan secara langsung surat pengunduran diri itu kepadanya.

Surat bermeterai yang ditandatangani Novanto itu kemudian dibacakan Dasco setelah sebelumnya MKD menggelar rapat tertutup selama 10 menit.

Dari hasil rapat tertutup, diputuskan kasus Novanto ditutup karena ia telah mengundurkan diri.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Kemendikbud Sebut Kuliah Bersifat Tersier, Pimpinan Komisi X: Tidak Semestinya Disampaikan

Nasional
Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Wapres Minta Alumni Tebuireng Bangun Konsep Besar Pembangunan Umat

Nasional
Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Khofifah-Emil Dardak Mohon Doa Menang Pilkada Jatim 2024 Usai Didukung Demokrat-Golkar

Nasional
Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Pertamina Raih Penghargaan di InaBuyer 2024, Kado untuk Kebangkitan UMKM

Nasional
Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Soal Isu Raffi Ahmad Maju Pilkada 2024, Airlangga: Bisa OTW ke Jateng dan Jakarta, Kan Dia MC

Nasional
Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Cegah MERS-CoV Masuk Indonesia, Kemenkes Akan Pantau Kepulangan Jemaah Haji

Nasional
Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Dari 372 Badan Publik, KIP Sebut Hanya 122 yang Informatif

Nasional
Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Jemaah Haji Indonesia Kembali Wafat di Madinah, Jumlah Meninggal Dunia Menjadi 4 Orang

Nasional
Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Hari Keenam Penerbangan, 34.181 Jemaah Haji tiba di Madinah

Nasional
Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Jokowi Bahas Masalah Kenaikan UKT Bersama Menteri Pekan Depan

Nasional
KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

KIP: Indeks Keterbukaan Informasi Publik Kita Sedang-sedang Saja

Nasional
Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Digelar di Bali Selama 8 Hari, Ini Rangkaian Kegiatan World Water Forum 2024

Nasional
Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Golkar Resmi Usung Khofifah-Emil Dardak di Pilkada Jatim 2024

Nasional
Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Fahira Idris: Jika Ingin Indonesia Jadi Negara Maju, Kuatkan Industri Buku

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com