Oleh: Adnan Pandu Praja
JAKARTA, KOMPAS - Kriminalisasi kebijakan merupakan puncak gunung es lemahnya fungsi pengawasan, koordinasi, dan supervisi dalam sistem birokrasi pemerintah.
Pada pertemuan Presiden Joko Widodo dengan para petinggi institusi penegak hukum beserta semua gubernur di Bogor, beberapa waktu lalu, berkenaan dengan rendahnya penyerapan anggaran yang dapat mengakibatkan roda pemerintahan terhambat, Presiden berpesan tiga hal.
Pertama, kebijakan jangan dikriminalisasi. Kedua, pelanggaran administrasi agar diselesaikan secara administratif.
Ketiga, aparat penegak hukum agar menghormati jangka waktu penyelesaian selama 60 hari sejak tanggal rekomendasi BPK atau BPKP akibat temuan potensi penyimpangan penggunaan anggaran.
Selanjutnya, Presiden akan mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) sebagai pedoman bagi instansi terkait untuk mencegah kriminalisasi kebijakan.
Langkah preventif
Sepertinya PP akan menuai banyak protes karena akan dianggap pro koruptor jika sifatnya intervensi proses penyidikan.
Sesungguhnya ada banyak cara yang lebih bersifat preventif, bahkan pre-emptive, untuk mencegah potensi terjadinya korupsi.
Tidak sulit mendeteksi potensi terjadinya korupsi pada saat anggaran belanja disusun, yaitu apakah terjadi mark up pengadaan barang dan jasa di atas standar biaya umum yang ditetapkan pemerintah tanpa argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jika rencana anggaran mark up tersebut mendapat persetujuan Dewan, pada dasarnya APBD sudah cacat sejak awal. Biasanya proyek mark up sudah ada yang punya alias sudah diijon.
Kalau sudah seperti itu, pada saat proyek dikerjakan tinggal ampasnya.
Tahun berikutnya sudah bisa dipastikan akan menjadi temuan auditor BPK dan akan menjadi amunisi bagi Dewan untuk interpelasi. Namun, lagi-lagi mudah lolos di tingkat Dewan. Siklus seperti itu selalu saja berulang.
Siklus anggaran koruptif sejak dini bisa dicegah jika inspektorat daerah dilibatkan dan perencanaan anggaran dilaksanakan secara transparan, khususnya untuk mengawal APBD agar sesuai kebutuhan masyarakat.
Dengan pola itu, bisa diduga akan ada hambatan saat pembahasan di tingkat Dewan. Inilah titik krusial siklus perencanaan anggaran.
Seperti yang kita saksikan, betapa alotnya perdebatan Pemerintah Provinsi DKI dan Dewan dalam membahas APBD 2015.
Sayangnya, sangat sedikit kepala daerah yang tegar dan tak toleran terhadap upaya intervensi yang berkonotasi koruptif. Sebagian besar sangat akomodatif terhadap tekanan Dewan.
Untuk itu, kiranya PP agar mengoptimalkan peranan pengawasan inspektorat daerah di bawah supervisi BPKP dengan memanfaatkan teknologi informasi (e-supervisi).
Juga agar pengawasan perencanaan sampai penggunaan anggaran di daerah dapat terpola secara nasional mengingat saat ini posisi BPKP langsung di bawah kendali Presiden. Pada kondisi tertentu dapat pula disupervisi oleh KPK.
Pada 2013, KPK bersama BPKP telah mendiagnosis potensi penyimpangan APBD di semua provinsi dan kabupaten/kota melalui program koordinasi dan supervisi (korsup) pencegahan KPK.