Keempat, pemerintahan melonggarkan remisi bagi koruptor dengan alasan whistle blower dan justice collaborator. Remisi bagi koruptor harusnya diperketat agar dapat memberi efek jera bagi koruptor maupun pihak lain yang rawan melakukan korupsi. Akan tetapi, pemerintahan Jokowi-JK melalui Menteri Hukum dan HAM justru menerbitkan remisi bagi narapidana kasus korupsi pada Agustus 2015.
Presiden harusnya tetap pada prinsip bahwa korupsi adalah kejahatan luar biasa dan pelakunya tidak mendapatkan keistimewaan sedikit pun dalam hukum atau sanksi. Dengan demikian, remisi koruptor seharusnya sangat ketat, utamakan pada narapidana yang bekerja sama membongkar kasus korupsi.
Kelima, belum ada pendidikan rakyat yang masih mengisi demokrasi dan menggerakkan rakyat dalam memberantas korupsi.
Pemerintahan baru seharusnya dapat menggunakan momen kemenangan pilpres dalam memobilisir kekuatan rakyat untuk memperkuat demokrasi dan memberantas korupsi.
Sayangnya, momen ini belum dimanfaatkan dengan baik. Sebaliknya, pemerintahan Jokowi-Kalla justru dicemarkan oleh pembentukan situs revolusi mental yang pembuatannya berlawanan dengan semangat revolusi mental itu.
Situs ini diduga menyontek karena memiliki banyak kemiripan dengan situs Obama. Situs yang memakan biaya miliaran rupiah dan didanai APBN ini justru dikritik publik karena dananya jauh lebih kecil dari dana yang telah dihabiskan membangun situs tersebut.
Harapan
Indonesia memang membutuhkan pertumbuhan ekonomi tinggi di tengah kelesuan ekonomi global.
Akan tetapi, hal ini jangan menjadi dasar untuk mengabaikan gerakan antikorupsi dan penguatan demokrasi. Sebaliknya, penguatan ekonomi justru akan terjadi bersamaan dengan penguatan demokrasi dan mendorong pemerintahan bersih dari korupsi.
Pembelajaran dari rezim Orde Baru telah membuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tinggi tanpa demokrasi akan menciptakan ketidakstabilan politik dan ekonomi. Demokrasi Indonesia saat ini telah dibajak oleh kekuatan elite dan kelompok bisnis.
Oleh karena itu, mengejar pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan demokrasi dan pemberantasan korupsi justru akan memperkuat relasi politik-bisnis para elite dan tidak memberdayakan dan menyejahterakan rakyat Indonesia.
Dalam debat Capres-Cawapres Pilpres 2014, Jokowi menyatakan "Demokrasi adalah mendengarkan suara rakyat dan melaksanakannya. Oleh sebab itu, kenapa kami datang ke kampung-kampung, datang ke pasar-pasar, datang ke bantaran sungai, datang ke petani, datang ke pelelangan ikan, karena kami ingin mendengar suara rakyat."
Pernyataan ini cukup tepat dalam konteks Indonesia saat ini di mana demokrasi tidak lagi berpihak kepada rakyat. Indonesia membutuhkan pemimpin yang mampu mengonsolidasikan kekuatan rakyat untuk melawan pembajakan demokrasi.
Sebagai pemimpin Jokowi-Kalla juga harus di garis depan dalam menggalang kekuatan rakyat untuk membangun demokrasi dan pemberantasan korupsi. Masih ada empat tahun untuk perubahan.
Febri Hendri AA
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 23 Oktober 2015, di halaman 6 dengan judul "Prioritaskan Investor Abaikan Koruptor".