Oleh: Febri Hendri AA
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih memprioritaskan investor daripada membasmi koruptor. Mungkin inilah kalimat yang tepat menggambarkan upaya pemberantasan korupsi pada satu tahun pemerintahan baru ini.
Mendatangkan investor memang dibutuhkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja. Akan tetapi, apalah artinya pertumbuhan ekonomi jika kesejahteraan belum merata karena korupsi masih merajalela?
Meski gigih mendatangkan investor, pemerintahan baru justru kedodoran dan belum menunjukkan kepemimpinan yang kuat dan tegas dalam memberantas korupsi serta membangun pemerintahan demokratis dan bersih.
Bahkan, pemerintah seakan- akan menyalahkan pemberantasan korupsi sebagai biang kegaduhan yang bisa membuat investor enggan datang.
Namun, pemerintahan baru telah berupaya membangun demokrasi dan memberantas korupsi dengan mengesahkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2015 tentang Rencana Aksi PPK (Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi) dan memilih panitia seleksi calon pimpinan KPK.
Sayang, secara keseluruhan pemerintah kehilangan momentum dan kesempatan dalam memperkuat demokrasi dan pemberantasan korupsi sesuai Nawacita dan janji kampanye 2014.
Beberapa momentum yang terlewatkan adalah, pertama, pembentukan anggota kabinet ramping sebagai titik tolak reformasi birokrasi agar lebih efektif, efisien, dan profesional dalam melayani rakyat.
Akan tetapi, program besar ini justru bermasalah dengan politik. Cita-cita regulasi, kelembagaan, dan birokrat bersih berbenturan dengan kepentingan politik.
Maka, Presiden pun melantik "kabinet gendut" berjumlah 33. Sebagian besar anggota kabinet berasal dari kekuatan politik bisnis pendukung Jokowi-Kalla dalam Pilpres 2014.
Hal ini memicu kontroversi pada rekrutmen terbuka pejabat eselon I dan II di kementerian atau lembaga.
Kedua, pemilihan Kepala Polri, Jaksa Agung, pemimpin KPK, serta konflik KPK versus Polri. Pemilihan ketiga pimpinan penegak hukum merupakan hal sangat penting dan strategis dalam konteks pemberantasan korupsi.
Penindakan korupsi akan sulit berhasil jika masing-masing pemimpin tertinggi penegakan hukum tersangkut kasus korupsi, memiliki kepentingan politik, dan berupaya melemahkan salah satu institusi penegak hukum. Selama itu pula, perseteruan KPK dan penegak hukum lain hampir pasti akan terjadi.
Presiden sebagai kepala negara seharusnya menjadikan momentum konflik ini untuk mendorong perubahan terutama pada penegak hukum yang belum bersih dari korupsi.
Reformasi birokasi di internal penegak hukum, transparansi serta akuntabilitas penindakan merupakan syarat mutlak. Namun, Jokowi-Kalla tampaknya memandang hal ini bukan akar masalah.
Perkembangan terakhir terkait penindakan korupsi adalah penetapan tersangka Sekretaris Jenderal Partai Nasdem terkait kasus suap hakim PTUN Medan. Kasus ini telah memicu spekulasi publik bahwa ada intervensi atas penetapan tersangka kasus dana bantuan sosial Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.
Inilah salah satu bentuk kerawanan jika kader parpol menduduki jabatan tertinggi lembaga penegak hukum. Tidak hanya itu, penegakan hukum kasus korupsi juga bisa menjadi instrumen politik memperluas pengaruh partainya.
Ketiga, pemerintahan baru seharusnya menangkis isu revisi UU KPK yang bergulir di DPR dengan memperkuat KPK. Jokowi pernah berjanji pada kampanye pilpres akan memperkuat KPK melalui peningkatan anggaran dan penambahan penyidik berkali lipat.
Janji tersebut sampai kini belum terealisasi. Pemerintahan justru menunda agenda revisi UU KPK dengan alasan memfokuskan penanganan ekonomi. Tidak ada kata tegas dari Presiden bahwa UU KPK belum saatnya direvisi.