Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa anggota DPR mengklaim mewakili dan memperjuangkan aspirasi dapil? Pasal 78 UU No 17/2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (MD3) mengenai bunyi sumpah/janji para anggota DPR menugaskan "para anggota DPR untuk memperjuangkan aspirasi rakyat yang diwakili untuk mewujudkan tujuan nasional demi kepentingan bangsa dan NKRI." Selanjutnya, dalam Pasal 80 huruf j UU MD3, para anggota DPR dinyatakan berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan. Dengan demikian, biang kerok dari heboh dana aspirasi anggota DPR tidak lain UU No 17/2014 tentang MD3.
Bagaimana seseorang terpilih seharusnya menentukan bagaimana seseorang itu menjalankan tugas. UU No 8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD seharusnya menentukan substansi tugas dan kewenangan anggota DPR, DPD, dan DPRD. Bahkan, ketentuan Pasal 78 dan Pasal 80 huruf j di atas bertentangan dengan ketentuan Pasal 22E Ayat (3) UUD 1945 yang menetapkan parpol sebagai peserta pemilu anggota DPR dan DPRD. Fraksi sebagai wakil partai politik peserta pemilu yang memiliki kursi di DPR-lah yang seharusnya mengoordinasi (bahkan dapat memaksa) anggota DPR dari partai itu untuk melaksanakan tugas merepresentasikan dapil sesuai dengan visi, misi, dan program yang sudah dijanjikan partai kepada pemilih di setiap dapil.
Sebagai perbandingan dapat dikemukakan apa yang terjadi di AS. Di AS yang menjadi peserta pemilu anggota DPR ataupun Senat adalah calon yang diajukan (yang memenangkan pemilihan pendahuluan dan konvensi) oleh partai. Besaran dapil di kedua lembaga ini adalah satu kursi di setiap dapil. Di DPR ataupun Senat terdapat sejumlah pimpinan fraksi dari setiap partai. Salah satu di antaranya disebut Whip yang bertugas mengoordinasi anggota dalam penentuan agenda dan pembuatan keputusan agar sesuai dengan agenda partai. Akan tetapi, seorang anggota DPR atau Senator dapat mengatakan kepada pimpinan partainya: saya tidak dapat mengikuti suara partai karena konstituen saya memiliki aspirasi lain. Pimpinan partai tidak berwenang menarik (memberhentikan) wakil rakyat yang tidak mengikuti suara partai karena yang menjadi peserta pemilu adalah calon yang diajukan partai. Yang berjanji kepada para pemilih di suatu dapil bukan partai politik, melainkan calon anggota DPR atau calon Senator.
Dalam konteks Indonesia, pimpinan fraksi atas perintah dewan pimpinan partai berhak menarik anggotanya dari DPR jika anggota tersebut tidak melaksanakan garis kebijakan partai. Tidak hanya karena kursi DPR itu adalah milik partai, tetapi juga karena partai sudah menyampaikan visi, misi, dan program partai sebagai garis kebijakan partai kepada pemilih di setiap dapil. Singkat kata, ke depan substansi UU tentang MD3 (khususnya tentang tugas dan kewenangan DPR, DPD, dan DPRD) harus mengikuti sistem pemilu yang diadopsi dalam UU tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD.
Ramlan Surbakti
Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 5 Agustus 2015, di halaman 6 dengan judul "UU MD3 dan Pemilu Legislatif".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.