"Tiba-tiba proses pidana mendahului proses etik. Kalau dia (Sarpin) bijak, seharusnya tidak melalui Kepolisian, tetapi secara internal melalui Dewan Kehormatan KY," ujar peneliti Indonesia Legal Roundtable (ILR) Erwin Natosmal, dalam konferensi pers di Kantor YLBHI, Jakarta, Sabtu (11/7/2015).
Menurut Erwin, dalam Pasal 33 ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial, dijelaskan bahwa dalam hal Komisioner KY diduga melakukan pelanggaran kode etik, maka akan dibentuk Dewan Kehormatan KY untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Jika terbukti bersalah, Komisioner KY dapat dikenai sanksi pemberhentian secara hormat, maupun secara tidak hormat. Dalam hal ini, menurut Erwin, Undang-Undang KY yang dibuat secara khusus seharusnya dipandang lebih daripada undang-undang yang mengatur tentang pidana (KUHP).
Pembentukan Dewan Kehormatan didasari pada alasan pembentukan KY yang diasumsikan sebagai lembaga dengan standar etik yang tinggi. Hal sependapat juga diutarakan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Miko Ginting. Menurut Miko, pidana adalah pilihan terakhir apabila mekanisme lain sudah diterapkan sebelumnya.
"Dalam UU KY ada proses etik. Kalau Sarpin merasa dirugikan, ya adukan ke Dewan Kehormatan, dan Bareskrim menunggu putusan Dewan. Dalam hal ini, Bareskrim mengacuhkan apa yang ditetapkan di UU KY," kata Miko.
Penyidik Bareskrim Polri telah menetapkan Ketua Komisi Yudisial Suparman Marzuki, dan Komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri sebagai tersangka (baca juga: Merasa Nama Baiknya Tercemar, Hakim Sarpin Laporkan Dua Pimpinan KY ke Polisi). Keduanya akan menjalani pemeriksaan sebagai tersangka, atas tuduhan pencemaran nama baik yang dilaporkan Sarpin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.