JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Joko Widodo dianggap berada dalam posisi tidak nyaman karena Indonesia secara tegas akan menegakkan hukuman mati terhadap terpidana kasus narkoba. Karena sistem hukum itu, Jokowi mendapat tekanan, tidak hanya dari dalam negeri, tetapi juga dari dunia internasional.
Dosen Komunikasi Politik Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengatakan bahwa tekanan terhadap Jokowi sebenarnya tidak akan menjadi besar jika pelaksanaan eksekusi mati tidak diulur-ulur. Menunda waktu eksekusi, kata Emrus, sama dengan memancing timbulnya polemik dari dalam dan luar negeri.
"Kondisi Jokowi sangat tidak nyaman. Penolakan eksekusi mati datang dari dalam dan dari dunia internasional," kata Emrus saat dihubungi, Rabu (11/3/2015).
Emrus menuturkan, Jokowi menghadapi situasi yang semakin tidak nyaman setelah adanya ancaman dari mantan pegawai Badan Pertahanan Nasional Amerika Serikat atau NSA, Edward Snowden. Snowden mengancam akan membocorkan percakapan Jokowi saat Pemilu Presiden 2014 jika eksekusi mati tetap dilaksanakan.
Menurut Emrus, penundaan pelaksanaan eksekusi mati terhadap terpidana kasus narkoba menimbulkan beragam spekulasi di tengah masyarakat. Ia menyarankan eksekusi mati harus segera dilakukan sebagai penegas tegasnya sistem hukum di Indonesia yang tidak mampu diintervensi.
"Sekarang spekulasi semakin liar, Jokowi semakin tidak nyaman. Tidak ada pilihan, harus dieksekusi semua, lebih cepat lebih baik meski risikonya Jokowi akan mendapatkan tekanan politik internasional," ucapnya.
Sebelumnya, Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa persiapan di Pulau Nusakambangan, Cilacap, sebagai tempat eksekusi para terpidana mati telah mencapai 100 persen. Waktu eksekusi mati tinggal menunggu keputusan Jaksa Agung HM Prasetyo.
Beberapa waktu lalu Kejaksaan Agung merilis 10 nama terpidana mati kasus narkoba yang akan dieksekusi, yakni Andrew Chan (warga negara Australia), Myuran Sukumaran (Australia), Raheem Agbaje Salami (Nigeria), Zainal Abidin (Indonesia), Serge Areski Atlaoui (Perancis), Rodrigo Gularte (Brasil), Silvester Obiekwe Nwaolise alias Mustofa (Nigeria), Martin Anderson alias Belo (Ghana), Okwudili Oyatanze (Nigeria), dan Mary Jane Fiesta Veloso (Filipina).
Kemarin, pengusaha asal Inggris Richard Branson meminta Presiden Joko Widodo untuk membatalkan rencana eksekusi mati bagi para terpidana kasus narkotika. Richard bersama beberapa rekannya menuliskan surat kepada Jokowi untuk memohon pengampunan bagi para terpidana mati.
Richard yang merupakan anggota Komisi Global Antinarkoba mengungkapkan bahwa hukuman mati adalah sebuah bentuk hukuman yang tidak manusiawi, yang telah terbukti berkali-kali gagal memberi rasa takut melakukan tindak pidana. Selain itu, Richard mengatakan, hukuman mati sebenarnya mencabut kesempatan pengampunan bagi terpidana yang telah menunjukkan pertobatan.
Ia mengatakan, sebagian dari terpidana yang akan dieksekusi mati baru menginjak usia dewasa ketika divonis terbukti bersalah. Menurut Richard, melihat penyalahgunaan narkotika dalam aspek kesehatan dan bukan sebagai masalah pidana, sebenarnya dapat memperbaiki masalah peredaran narkoba di Indonesia secara drastis. Hal itu telah terbukti efektif di negara-negara lain, khususnya seperti Portugal. Ia menambahkan, negara-negara yang masih menjalankan eksekusi mati atas kasus narkoba belum dapat melihat adanya penurunan transaksi peredaran narkotika. Perdagangan narkoba masih tetap ada dan tidak terpengaruh oleh adanya ancaman hukuman mati.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.