Melihat definisi ini, jelas bahwa mereka bukan kriminal, melainkan korban dan kelompok rentan yang harus mendapatkan perlindungan internasional. Sungguh tidak adil jika mereka disebut sebagai imigran ilegal. Mereka lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin pada umumnya di negara kita ini.
Sebagai warga negara Indonesia, orang miskin masih mempunyai akses untuk mendapatkan pendidikan, pekerjaan, pelayanan umum, dan jaminan keselamatan dari Pemerintah Indonesia. Lain halnya dengan para pengungsi di Indonesia, mereka tidak bisa mendapatkan akses tersebut karena Pemerintah Indonesia tidak merasa wajib secara formal memberikan hak-hak mereka karena belum menandatangani dan meratifikasi Konvensi 1951 dan Protokol 1967.
Di Indonesia mereka tidak hanya tercerabut dari tempat tinggal mereka. Masa depan hidup mereka pun tidak jelas. Orang yang sudah kehilangan masa lalu dan masa depan akan kehilangan pula masa sekarang.
Perubahan perilaku dan kebijakan
Untuk memperlakukan pengungsi secara adil, perlu adanya perubahan perilaku dan kebijakan. Perubahan perilaku yang paling sederhana misalnya mengubah cara pandang pengungsi sebagai orang yang harus dilindungi hak-haknya dan tidak menyebut mereka sebagai imigran gelap. Agar perubahan perilaku ini menjadi efisien dan efektif, perlu ada perubahan kebijakan Pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia hendaknya segera menandatangani dan meratifikasi Konvensi Geneva 1951 dan Protokol 1967. Diberitakan bahwa Indonesia pernah menargetkan akhir tahun 2009 menandatangani dan meratifikasi hukum internasional tersebut. Namun, dengan berbagai alasan, target tersebut belum direalisasikan.
Salah satu keberatan Pemerintah Indonesia untuk merealisasikannya mungkin ketakutan bahwa akan semakin banyak pengungsi dan pencari suaka datang ke Indonesia untuk mencari perlindungan dan menetap di Indonesia. Ketakutan yang lain adalah bahwa Indonesia menjadi jalur transit para pengungsi dan pencari suaka yang akan pergi ke Australia dan Malaysia.
Ketakutan ini berlebihan. Bukti menunjukkan bahwa hampir semua pengungsi dan pencari suaka yang ada di Indonesia tidak ingin menetap di Indonesia karena bukan menjadi negara tujuan mereka. Bukti lain adalah fakta bahwa negara-negara berkembang, seperti Filipina, Kamboja, dan Timor Leste, yang sudah menandatangani dan meratifikasi konvensi dan protokol tersebut hanya ada sejumlah kecil pengungsi dan pencari suaka di negara mereka.
Adapun Malaysia dan Thailand sebagai negara yang belum menandatangani dan meratifikasi hukum internasional tersebut jauh lebih banyak menampung pengungsi dan pencari suaka dari negara-negara tetangga. Sebaliknya, jika Indonesia menandatangani dan meratifikasi akan meraup keuntungan diplomatik dan politis di mata internasional. Sebagai negara demokrasi berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia akan diperhitungkan dalam percaturan internasional.
Dalam rangka memperingati Hari Pengungsi Sedunia ini, marilah kita mendengarkan seruan 16 juta pengungsi di dunia sekarang ini. ”Mereka telah mencabut kami dari tempat tinggal kami, tetapi mereka tidak bisa mencabut masa depan kami!” Selamat Hari Pengungsi Sedunia!
* Adrianus Suyadi Direktur Jesuit Refugee Service (JRS) Indonesia
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.