JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat 3 periode belum berakhir. Isu itu kembali menghangat setelah disampaikan dalam kegiatan Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (APDESI) Istora Senayan, Jakarta, pada Selasa (29/3/2022) lalu.
Pernyataan Ketua Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) APDESI, Surtawijaya yang mendukung wacana Jokowi 3 periode menuai polemik karena posisi kepala desa yang dinilai mempunyai pengaruh politik yang cukup kuat bagi masyarakatnya. Selain itu, sebagai pejabat pemerintahan, kepala desa tidak boleh terlibat dalam praktik politik praktis.
"Habis Lebaran kami deklarasi (dukungan Presiden Jokowi tiga periode). Teman-teman di bawah kan ini bukan cerita, ini fakta, siapa pun pemimpinnya, bukan basa-basi, diumumkan, dideklarasikan apa yang kita inginkan," kata Surtawijaya.
Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014, seorang kepala desa wajib memegang teguh dan melaksanakan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Sedangkan pada Pasal 7 UUD 1945 disebutkan masa jabatan presiden dan wakil presiden dibatasi hanya dua periode.
Perubahan atas pasal itu dilakukan pada Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada 14 sampai 21 Oktober 1999. Amendemen tersebut terjadi sebagai dampak dari gelombang reformasi pada 1998 dan sebagai upaya agar Indonesia tidak kembali terjerumus ke dalam praktik otoritarianisme.
Pembatasan masa jabatan presiden yang dicantumkan dalam UUD 1945 merupakan buah pembelajaran dari pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Selain itu, pembatasan masa jabatan presiden dilakukan dengan harapan dan tujuan supaya praktik demokrasi di Indonesia tetap sehat, dan suksesi kepemimpinan terjadi secara rutin.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ali Mochtar Ngabalin tak mempersoalkan para kepala desa yang menyerukan agar masa jabatan Presiden Joko Widodo diperpanjang menjadi 3 periode. Menurut dia, menjadi hak setiap warga untuk mengusulkan wacana tersebut.
"Ya biar saja itu, mereka punya hak untuk berteriak. Enggak apa-apa, biar saja mereka berteriak, biasa saja," kata Ngabalin saat dihubungi, Rabu (30/3/2021).
Secara terpisah, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengatakan, tidak ada yang bisa melarang untuk menyatakan pendapatnya, termasuk terkait dengan penundaan pemilu.
"Ini parlemen, lembaga demokrasi, orang mau cerita apa saja boleh termasuk penundaan pemilu. Jangan diharamkan," kata Bahlil di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (30/3/2022).
Menurut Bahlil, wacana penundaan pemilu termasuk sebuah pemikiran yang konstruktif untuk kebaikan bangsa. Dia mengatakan, dalam sebuah negara demokrasi, menyatakan sebuah pendapat, termasuk penundaan pemilu, adalah sesuatu hal yang wajar.
"Itu (penundaan pemilu) wajar-wajar saja. Tinggal bagaimana proses di parlemen bagaimana, boleh atau tidak, monggo diselesaikan di sini," ujar Bahlil.
Sosiolog dari Universitas Negeri Jakarta Robertus Robet mengkritik wacana supaya Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat 3 periode yang terus digaungkan.
"Mobilisasi dukungan 3 periode bukan gejala demokrasi tapi gejala ke arah otoritarianisme," kata Robet kepada Kompas.com, Kamis (31/3/2022).
"Dia diinisiasi oleh elit dengan menginterupsi proses di mana demokrasi dan tradisi sirkulasi elit sedang berjalan baik," ujar Robet.
Robet yang juga seorang aktivis hak asasi manusia mengatakan, gerakan yang mendukung supaya Jokowi menjabat 3 periode mirip dengan yang terjadi di masa Orde Baru. Di masa Orde Baru, kelompok fraksi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan Golkar, serta sejumlah menteri yang pro pemerintah kerap mengklaim Soeharto masih didukung oleh rakyat untuk terus berkuasa.
Selain itu, para menteri di masa Orde Baru terus melontarkan wacana pemerintahan Soeharto berhasil dalam melakukan pembangunan, sehingga layak untuk dipertahankan untuk terus menjadi presiden. Saat itu di dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak tercantum pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden seperti saat ini.
Robet menilai wacana supaya Jokowi menjabat 3 periode justru lebih buruk dari masa pemerintahan Orde Baru. Sebab menurut dia, ketika UUD 1945 sudah diamendemen dengan mencantumkan pembatasan masa jabatan presiden dan wakil presiden maksimal dua periode, tetapi ada kelompok yang menggulirkan isu yang bertentangan dengan konstitusi.
Wacana itu, kata Robet, seolah membuat praktik demokrasi di Indonesia mundur ke masa Orde Baru.
"Mobilisasi politik semacam ini mengulang praktik kebulatan tekad Orde Baru yang digunakan untuk memberikan justifikasi Suharto memperpanjang kekuasaan," ujar Robet.
Menanggapi polemik terkait dukungan wacana masa jabatan 3 periode itu, Presiden Jokowi kembali menyatakan harus patuh terhadap konstitusi.
"Yang namanya keinginan masyarakat, yang namanya teriakan-teriakan seperti itu kan sudah sering saya dengar. Tetapi yang jelas, konstitusi kita sudah jelas. Kita harus taat, harus patuh terhadap konstitusi, ya," kata Jokowi saat memberikan keterangan usai meninjau Candi Borobudur di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (30/3/2022).
https://nasional.kompas.com/read/2022/04/01/09010031/wacana-jokowi-3-periode-klaim-demokrasi-dan-gejala-otoritarianisme