"IPK di satu negara ditentukan oleh berbagai faktor dan penegakan hukum hanyalah salah satu faktor saja," ujar Sekretaris Jenderal TII Dadang Trisasongko dalam siaran pers yang diterima Kompas.com, Selasa (12/9/2017).
Dalam kajian TII, melambatnya peningkatan skor IPK tidak berhubungan langsung dengan kewenangan KPK dalam hal penyidikan, penyelidikan dan penuntutan. Penegakan hukum hanya satu indikator dari rantai IPK.
Menurut Dadang, indikator lainnya justru terdapat pada sistem politik dan birokrasi, penyalahgunaan sumber daya publik, suap dan gratifikasi yang melibatkan pejabat atau aparatur negara dengan swasta.
(Baca: Presiden, Jaksa Agung, dan Usulan Amputasi Kewenangan KPK...)
"Sehingga peningkatan skor IPK harus dipahami dalam keutuhan upaya perbaikan sistem rekrutmen pejabat publik, reformasi birokrasi, dan perbaikan rezim tata niaga," kata Dadang.
Dadang mengatakan, jika dibandingkan dengan Malaysia dan Singapura, kedua negara ini mempunyai keunggulan dalam perbaikan sistem dan manajemen pelayanan publik yang baik. Bukan hanya terbatas pada konteks penegakan hukum atas kasus korupsi.
Sebelumnya, HM Prasetyo menyarankan agar fungsi penuntutan tindak pidana korupsi (tipikor) dikembalikan kepada korps Adhyaksa. Menurut dia, Indonesia perlu berkaca pada pemberantasan korupsi di Malaysia dan Singapura.
(Baca: Menurut Jaksa Agung, OTT Kerap Bikin Gaduh)
Ia mengatakan, meski kedua negara memiliki aparat penegak hukum khusus untuk memberantas korupsi, kewenangan penuntutan tetap berada pada kejaksaan.
Ia mengklaim, model pemberantasan korupsi seperti itu justru lebih efektif ketimbang di Indonesia. Hal tersebut, kata Prasetyo, terlihat melalui Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Malaysia dan Singapura yang lebih tinggi ketimbang Indonesia.
https://nasional.kompas.com/read/2017/09/12/18423581/jaksa-agung-dinilai-keliru-memahami-indeks-persepsi-korupsi