KOMPAS.com - Serangan bom kimia pertama sudah terjadi, berupa bom di sebuah mal di Depok Februari lalu.
Kepada para wartawan internasional dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu (25/03), Tito Karnavian mengatakan, kita sangat beruntung bahwa ada masalah teknis dalam serangan bom itu, sehingga hanya dua container yang meledak.
Sementara dua lagi utuh, tidak meledak, sehingga tidak terjadi percampuran kimia yang menghasilkan gas mematikan.
“Kita hanya mujur saja. Ada empat detonator, empat container (bom), kalau seluruhnya meledak, keempatnya akan bercampur menghasilkan gas klorida.”
Menurutnya dalam jumlah kecil gas itu akan mengganggu pernafasan. Namun dalam jumlah besar gas itu akan mematikan.
“Dan serangan bom itu merupakan signature atau kekhasan kelompok ISIS di Suriah,” tambah Tito lagi.
Serangan bom kimia pertama di Indonesia itu merupakan sebuah peringatan keras. Karenanya polisi ekstra waspada, karena ini berarti ada ancaman potensial dari sel-sel kelompok teroris untuk mencoba lagi serangan kimia sejenis di masa depan.
Perwira yang kini menjabat Asisten Perencanaan dan Anggaran Kapolri itu menyebut, serangan kimia merupakan bagian dari proses trial and error kelompok-kelompok teroris, yang kini dipantau secara ekstra oleh kepolisian. Khususnya karena pelaku serangan Depok itu belum tertangkap.
Serangan itu terjadi 23 Februari lalu di lantai dua Mall ITC Depok. Paket bom ditemukan oleh seorang petugas kebersihan, dan menyerahkannya kepada petugas keamanan mal itu.
Tim penjinak bom, Gegana, sudah datang, dan sedang melakukan pengamanan lokasi, tatkala paket itu meledak.
Model baru teror
Peneliti di Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial UI, Solahudin mengatakan, ada beberapa kemungkinan terkait serangan kimia ini.
“Kalau pelaku yang belum tertangkap itu adalah veteran perang Suriah, mungkin dia sudah belajar membuat bom klorin di Suriah. Kalau tidak, kemungkinan belajar via online,” papar Solahudin.
“Sejak tahun 2011 banyak pelaku teror belajar bikin bom dari buku Kurdak atau kursus peledakan. Tahun 2012 polisi kaget-kaget ketika mereka menangkap beberapa teroris di Solo, ternyata di rumahnya ditemukan nitro gliserin, sejenis zat peledak cair. Belakangan terungkap bahwa mereka belajar bikin bom dari buku itu.”
Disebutkan Sola, panggilan Solahudin, memang sel-sel radikal Indonesia dari waktu ke waktu mencoba berbagai cara dalam melancarkan aksi teror mereka.