JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal lolos ke DPR RI setelah perolehan suaranya di Pemilu Legislatif 2024 tak mampu melampaui ambang batas parlemen 4 persen.
PPP tercatat hanya mendapat 5.878.777 suara dari total 84 daerah pemilihan (dapil). Dibandingkan dengan jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2024 yang mencapai 151.796.630 suara, PPP hanya meraup 3,87 persen suara.
Perolehan suara tersebut membuat partai berlambang Ka'bah itu untuk pertama kalinya gagal lolos ke parlemen sejak eksis di rezim Orde Baru.
Sejak tahun 1950 hingga 1959, Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak tujuh kali. Hal ini terjadi karena banyaknya partai yang ada di Indonesia serta tuntutan-tuntutan yang mereka layangkan.
Guna mencegah masalah tersebut, Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 1959. Pada 1960, jumlah partai di Indonesia dikurangi dari 40 menjadi 12, kemudian tersisa 10.
Masih di tahun yang sama, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan karena terlibat dalam Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dengan bubarnya Masyumi, maka aspirasi yang disampaikan oleh kelompok Islam lewat partai pun berkurang.
Baca juga: Ketum PPP Minta Semua Kader dan Caleg Tetap Tenang, Fokus pada Gugatan di MK
Partai Islam yang masih tersisa saat itu adalah Partai Nahdlatul Ulama, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).
Selain partai politik Islam, pada tahun 1964, berbagai organisasi golongan fungsional memutuskan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Golongan ini meliputi berbagai macam kelompok yang dibagi berdasarkan fungsi kekaryaannya, seperti buruh, guru, tani, atau pemuda.
Dua tahun kemudian, yakni tahun 1966, Angkatan Darat mengadakan pertemuan dan menghasilkan usulan fusi partai ke dalam lima golongan, yaitu Islam, Kristen-Katolik, Nasionalis, Sosialis-Pancasila, dan Golkar.
Pada Mei 1967, Presiden Soeharto mengusulkan fusi partai-partai yang dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menekankan pembangunan material, dan yang satu menekan pembangunan spiritiual.
Baca juga: PPP Sebut Pergeseran Suara Pileg Paling Banyak di Papua, Noken Pindah Ke Partai Lain
Keinginan Soeharto untuk melakukan fusi partai dikemukakan lewat pidato di Kongres XII Partai Nasional Indonesia, 11 April 1970. Sayangnya, usulan Soeharto ditolak oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Idham Chalid.
Chalid mengatakan bahwa NU tidak pernah memiliki keinginan untuk memfusikan diri dengan partai-partai Islam lainnya.
Setelah Pemilu 1971 dilangsungkan, Golkar mendapat perolehan suara sebesar 62,8 persen. Sedangkan dari empat partai Islam, hanya NU yang memperoleh suara terbanyak, yakni sebesar 18,6 persen.
Dari hasil Pemilu 1971, pemerintah memutuskan untuk membagi partai ke dalam empat kelompok, yaitu Angkatan Bersenjata, Golkar, golongan demokrasi pembangunan, dan persatuan pembangunan.
Di dalam tubuh PPP setidaknya ada empat partai haluan Islam di dalamnya, yaitu NU, PSII, Perti, dan Parmusi. Sehingga, PPP merupakan fusi dari partai-partai Islam saat itu. Selanjutnya PPP dideklarasikan pada 5 Januari 1973, dengan Mohammad Syafa'at sebagai ketuanya.