Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah PPP, Pernah Berulang Kali Bikin Rezim Orde Baru Berang

Kompas.com - 21/03/2024, 15:10 WIB
Achmad Nasrudin Yahya

Editor

Bikin Orba berang

Dikutip dari Kompas.id, PPP pada awal pendiriannya masih sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi. Seperti peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tahun 1973.

PPP kemudian menyatakan diri kembali ke khittah saat partai ini didirikan pada 5 Januari 1973.

Setelah dideklarasikan, dalam menjaga kelestarian ukhuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asa PPP. Bahkan, dalam memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam kembali diusung menjadi lambang partai, seperti pada awal berdiri partai ini.

Dari semua anggota DPR hanya Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut dengan alasan bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan tersebut juga disertai walkout dan berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasan dalam RUU tersebut.

PPP kembali memperlihatkan sikap kritisnya saat muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978.

Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman tersebut membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa.

PPP juga melakukan perlawanan lain, misalnya terhadap rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, serta Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam Tap MPR.

Saat itu gaya politik PPP yang berada di bawah NU dapat dikatakan progresif dan terkesan radikal terhadap pemerintah. Dominasi para tokoh NU saat itu membuat Ketua Umum PPP Mintaredja lebih bersikap akomodatif terhadap garis politik NU.

Kiprah PPP hampir sama dengan gaya oposisi Masyumi pada era pemerintahan Soekarno yang buat kalang kabut. Hal ini kemudian membuat pemerintah merasa harus mengambil langkah untuk menjinakkan radikalisme politik PPP dengan mengeliminasi basis kepemimpinan NU dalam kepemimpinan PPP.

Pada tahun 1978, PPP mengalami kemunduran politik dengan merenggangnya kekompakan PPP saat pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982.

Baca juga: Tak Lolos Parlemen di Pileg 2024, PPP: Kami Terkejut, Berbeda dengan Data Internal

Terjadi gesekan saat kelompok NU yang menjadi mayoritas dalam FPP DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 2/1980. Hal ini terjadi berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Pada tahun 1984, dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP dengan memutuskan untuk kembali ke Hittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Keputusan ini menjadikan NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya. Tidak dipungkiri bahwa basis massa dukungan dari kalangan NU cukup besar bagi PPP.

Hal ini terlihat pada Pemilu 1987 yang menjadi pukulan telak bagi PPP, perolehan suara yang anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 persen) kursi. Posisinya turun menjadi di bawah Golkar serta reputasinya sebagai partai Islam memudar.

Pada Pemilu 1992, PPP terlihat lebih kompak dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dari total 107.565.697 pemilih yang terdaftar, PPP mampu meraih 17,07 persen suara meskipun jauh di bawah Golkar yang meraup 67,98 persen suara.

Halaman:
Baca tentang


Terkini Lainnya

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Tinjau TKP Kecelakaan Bus di Ciater Subang, Kakorlantas: Tak Ditemukan Jejak Rem

Nasional
Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Kunker ke Sultra, Presiden Jokowi Tiba di Pangkalan TNI AU Haluoleo

Nasional
ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

ICW Kritik Komposisi Pansel Capim KPK: Rentan Disusupi Konflik Kepentingan

Nasional
Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Sekjen Gerindra Sebut Ada Nama Eksternal Dikaji untuk Bacagub DKI 2024

Nasional
Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Soal Rencana Pertemuan Prabowo-Megawati, Sekjen Gerindra: Tak Ada Komunikasi yang Mandek

Nasional
KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

KPK Diharapkan Tetap Ada meski Dilanda Isu Negatif

Nasional
Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Tren Pemberantasan Korupsi Buruk, Jokowi Diwanti-wanti soal Komposisi Pansel Capim KPK

Nasional
Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Burhanuddin Muhtadi: KPK Ibarat Anak Tak Diharapkan, Maka Butuh Dukungan Publik

Nasional
Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Gerindra Kaji Sejumlah Nama untuk Dijadikan Bacagub Sumut, Termasuk Bobby Nasution

Nasional
Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Presiden Jokowi Bertolak ke Sultra, Resmikan Inpres Jalan Daerah dan Bendungan Ameroro

Nasional
Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Jokowi Bersepeda di CFD Sudirman-Thamrin sambil Menyapa Warga Jakarta

Nasional
KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

KPK Kantongi Data Kerugian Ratusan Miliar dalam Kasus PT Taspen, tapi Masih Tunggu BPK dan BPKP

Nasional
4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

4 Kapal Perang Angkut Puluhan Rantis Lapis Baja demi Pengamanan WWF ke-10 di Bali

Nasional
Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Prabowo Pilih Rahmat Mirzani Djausal sebagai Bacagub Lampung

Nasional
KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

KPK Masih Telusuri Pemberi Suap Izin Tambang Gubernur Maluku Utara

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com