Dikutip dari Kompas.id, PPP pada awal pendiriannya masih sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi. Seperti peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tahun 1973.
PPP kemudian menyatakan diri kembali ke khittah saat partai ini didirikan pada 5 Januari 1973.
Setelah dideklarasikan, dalam menjaga kelestarian ukhuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asa PPP. Bahkan, dalam memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam kembali diusung menjadi lambang partai, seperti pada awal berdiri partai ini.
Dari semua anggota DPR hanya Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut dengan alasan bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan tersebut juga disertai walkout dan berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasan dalam RUU tersebut.
PPP kembali memperlihatkan sikap kritisnya saat muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978.
Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman tersebut membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa.
PPP juga melakukan perlawanan lain, misalnya terhadap rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, serta Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam Tap MPR.
Saat itu gaya politik PPP yang berada di bawah NU dapat dikatakan progresif dan terkesan radikal terhadap pemerintah. Dominasi para tokoh NU saat itu membuat Ketua Umum PPP Mintaredja lebih bersikap akomodatif terhadap garis politik NU.
Kiprah PPP hampir sama dengan gaya oposisi Masyumi pada era pemerintahan Soekarno yang buat kalang kabut. Hal ini kemudian membuat pemerintah merasa harus mengambil langkah untuk menjinakkan radikalisme politik PPP dengan mengeliminasi basis kepemimpinan NU dalam kepemimpinan PPP.
Pada tahun 1978, PPP mengalami kemunduran politik dengan merenggangnya kekompakan PPP saat pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982.
Baca juga: Tak Lolos Parlemen di Pileg 2024, PPP: Kami Terkejut, Berbeda dengan Data Internal
Terjadi gesekan saat kelompok NU yang menjadi mayoritas dalam FPP DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 2/1980. Hal ini terjadi berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Pada tahun 1984, dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP dengan memutuskan untuk kembali ke Hittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan.
Keputusan ini menjadikan NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya. Tidak dipungkiri bahwa basis massa dukungan dari kalangan NU cukup besar bagi PPP.
Hal ini terlihat pada Pemilu 1987 yang menjadi pukulan telak bagi PPP, perolehan suara yang anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 persen) kursi. Posisinya turun menjadi di bawah Golkar serta reputasinya sebagai partai Islam memudar.
Pada Pemilu 1992, PPP terlihat lebih kompak dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dari total 107.565.697 pemilih yang terdaftar, PPP mampu meraih 17,07 persen suara meskipun jauh di bawah Golkar yang meraup 67,98 persen suara.