Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarah PPP, Pernah Berulang Kali Bikin Rezim Orde Baru Berang

Kompas.com - 21/03/2024, 15:10 WIB
Achmad Nasrudin Yahya

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Partai Persatuan Pembangunan (PPP) gagal lolos ke DPR RI setelah perolehan suaranya di Pemilu Legislatif 2024 tak mampu melampaui ambang batas parlemen 4 persen.

PPP tercatat hanya mendapat 5.878.777 suara dari total 84 daerah pemilihan (dapil). Dibandingkan dengan jumlah suara sah Pemilu Legislatif 2024 yang mencapai 151.796.630 suara, PPP hanya meraup 3,87 persen suara.

Perolehan suara tersebut membuat partai berlambang Ka'bah itu untuk pertama kalinya gagal lolos ke parlemen sejak eksis di rezim Orde Baru.

Sejarah lahirnya PPP

Sejak tahun 1950 hingga 1959, Indonesia mengalami pergantian kabinet sebanyak tujuh kali. Hal ini terjadi karena banyaknya partai yang ada di Indonesia serta tuntutan-tuntutan yang mereka layangkan.

Guna mencegah masalah tersebut, Presiden Soekarno menerapkan Demokrasi Terpimpin pada 1959. Pada 1960, jumlah partai di Indonesia dikurangi dari 40 menjadi 12, kemudian tersisa 10.

Masih di tahun yang sama, Partai Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dibubarkan karena terlibat dalam Pemberontakan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dengan bubarnya Masyumi, maka aspirasi yang disampaikan oleh kelompok Islam lewat partai pun berkurang.

Baca juga: Ketum PPP Minta Semua Kader dan Caleg Tetap Tenang, Fokus pada Gugatan di MK

Partai Islam yang masih tersisa saat itu adalah Partai Nahdlatul Ulama, Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII).

Selain partai politik Islam, pada tahun 1964, berbagai organisasi golongan fungsional memutuskan membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Golongan ini meliputi berbagai macam kelompok yang dibagi berdasarkan fungsi kekaryaannya, seperti buruh, guru, tani, atau pemuda.

Dua tahun kemudian, yakni tahun 1966, Angkatan Darat mengadakan pertemuan dan menghasilkan usulan fusi partai ke dalam lima golongan, yaitu Islam, Kristen-Katolik, Nasionalis, Sosialis-Pancasila, dan Golkar.

Pada Mei 1967, Presiden Soeharto mengusulkan fusi partai-partai yang dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok menekankan pembangunan material, dan yang satu menekan pembangunan spiritiual.

Baca juga: PPP Sebut Pergeseran Suara Pileg Paling Banyak di Papua, Noken Pindah Ke Partai Lain

Keinginan Soeharto untuk melakukan fusi partai dikemukakan lewat pidato di Kongres XII Partai Nasional Indonesia, 11 April 1970. Sayangnya, usulan Soeharto ditolak oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Idham Chalid.

Chalid mengatakan bahwa NU tidak pernah memiliki keinginan untuk memfusikan diri dengan partai-partai Islam lainnya.

Setelah Pemilu 1971 dilangsungkan, Golkar mendapat perolehan suara sebesar 62,8 persen. Sedangkan dari empat partai Islam, hanya NU yang memperoleh suara terbanyak, yakni sebesar 18,6 persen.

Dari hasil Pemilu 1971, pemerintah memutuskan untuk membagi partai ke dalam empat kelompok, yaitu Angkatan Bersenjata, Golkar, golongan demokrasi pembangunan, dan persatuan pembangunan.

Di dalam tubuh PPP setidaknya ada empat partai haluan Islam di dalamnya, yaitu NU, PSII, Perti, dan Parmusi. Sehingga, PPP merupakan fusi dari partai-partai Islam saat itu. Selanjutnya PPP dideklarasikan pada 5 Januari 1973, dengan Mohammad Syafa'at sebagai ketuanya.

Bikin Orba berang

Dikutip dari Kompas.id, PPP pada awal pendiriannya masih sangat dipengaruhi oleh penampilan para tokoh dari keempat partai yang berfusi. Seperti peristiwa penolakan RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah tahun 1973.

PPP kemudian menyatakan diri kembali ke khittah saat partai ini didirikan pada 5 Januari 1973.

Setelah dideklarasikan, dalam menjaga kelestarian ukhuwah dan perjuangan Islam, partai-partai Islam yang berfusi tahun 1973 sepakat menerima Islam sebagai asa PPP. Bahkan, dalam memudahkan identifikasi sebagai partai Islam, gambar Ka’bah yang diyakini sebagai kiblatnya umat Islam kembali diusung menjadi lambang partai, seperti pada awal berdiri partai ini.

Dari semua anggota DPR hanya Fraksi Persatuan Pembangunan (FPP) yang berani menyatakan sikap menolak RUU tersebut dengan alasan bertentangan dengan syariat Islam. Penolakan tersebut juga disertai walkout dan berhasil mengurungkan niat pemerintah untuk melanjutkan gagasan dalam RUU tersebut.

PPP kembali memperlihatkan sikap kritisnya saat muncul gagasan untuk memberlakukan konsepsi Normalisasi Kegiatan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) pada tahun 1978.

Perlawanan PPP yang populer dengan nama interpelasi Syafi’i Sulaiman tersebut membuat citra PPP semakin baik di mata masyarakat, terutama di kalangan mahasiswa.

PPP juga melakukan perlawanan lain, misalnya terhadap rencana pemerintah untuk memasukkan aliran kepercayaan, serta Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) ke dalam Tap MPR.

Saat itu gaya politik PPP yang berada di bawah NU dapat dikatakan progresif dan terkesan radikal terhadap pemerintah. Dominasi para tokoh NU saat itu membuat Ketua Umum PPP Mintaredja lebih bersikap akomodatif terhadap garis politik NU.

Kiprah PPP hampir sama dengan gaya oposisi Masyumi pada era pemerintahan Soekarno yang buat kalang kabut. Hal ini kemudian membuat pemerintah merasa harus mengambil langkah untuk menjinakkan radikalisme politik PPP dengan mengeliminasi basis kepemimpinan NU dalam kepemimpinan PPP.

Pada tahun 1978, PPP mengalami kemunduran politik dengan merenggangnya kekompakan PPP saat pemerintah menyampaikan RUU penyempurnaan UU pemilu yang akan digunakan untuk Pemilu 1982.

Baca juga: Tak Lolos Parlemen di Pileg 2024, PPP: Kami Terkejut, Berbeda dengan Data Internal

Terjadi gesekan saat kelompok NU yang menjadi mayoritas dalam FPP DPR menolak hadir dalam sidang pengambilan keputusan atas RUU yang kemudian diundangkan menjadi UU No. 2/1980. Hal ini terjadi berkaitan dengan persoalan keanggotaan dalam Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

Pada tahun 1984, dalam Muktamar NU ke-27 di Situbondo, Jawa Timur, NU menyatakan tidak lagi mempunyai hubungan organisatoris dengan PPP dengan memutuskan untuk kembali ke Hittah 1926 sebagai organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Keputusan ini menjadikan NU mengambil jarak dengan partai yang pernah dibesarkannya. Tidak dipungkiri bahwa basis massa dukungan dari kalangan NU cukup besar bagi PPP.

Hal ini terlihat pada Pemilu 1987 yang menjadi pukulan telak bagi PPP, perolehan suara yang anjlok dari 94 menjadi 61 (15,25 persen) kursi. Posisinya turun menjadi di bawah Golkar serta reputasinya sebagai partai Islam memudar.

Pada Pemilu 1992, PPP terlihat lebih kompak dibandingkan dua pemilu sebelumnya. Dari total 107.565.697 pemilih yang terdaftar, PPP mampu meraih 17,07 persen suara meskipun jauh di bawah Golkar yang meraup 67,98 persen suara.

Kekalahan yang dialami PPP secara berturut-turut pada tiga pemilu membuat para petinggi partai ini menjadi gamang untuk menghadapi Pemilu 1997.

PPP kemudian kembali bangkit dari keterpurukan ini dengan membangun citra baru yang lebih dinamis. Sejak tahun 1995, PPP tampil lebih keras terutama dalam memberikan kritik terhadap kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan penataan politik nasional.

Tahun 1997, saat perayaan hari lahir PPP yang ke-24, partai ini telah merumuskan sepuluh masalah mendasar dan krusial yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia.

Pertama, merosotnya moral bangsa yang semakin terasa di semua strata kehidupan. Indikasinya adalah berkembangnya kejahatan secara berani, perkosaan, kebringasan, korupsi dan kolusi, kesewenang-wenangan, pungli, dan suap.

Kedua, keadilan dan kepastian hukum yang ditandai dengan materi hukum yang kurang menyelami spirit kerakyatan, dan penegakan hukum yang terkesan belum mencerminankan rasa keadilan, kepastian, dan ketentraman.

Ketiga, persamaan, kebersamaan dan kekeluargaan yang semakin populer diucapkan, tetapi pelaksanaannya makin tidak populer di mata rakyat. Keempat, kesenjangan sosial. Kelima, politik dan demokratisasi yang semakin mengarah pada upaya memupuk kekuatan untuk kelompok yang berkuasa atau kelompok kepentingan.

Keenam, semakin sulitnya membentuk pemerintahan yang bersih dan berwibawa karena praktik korupsi dan kolusi serta pamer kemewahan telah menjalar kedalam nadi kehidupan bangsa. Ketujuh, mandeknya fungsi DPR karena intervensi suprastruktur lewat kebijakan-kebijakan sepihak yang tidak adil.

Kedelapan, masalah kaum pekerja yang hak-haknya diabaikan. Kesembilan, rendahnya kualitas pendidikan karena merosotnya wibawa guru, dan semakin mahalnya biaya pendidikan. Terakhir, pemasungan terhadap ruang gerak dan kreativitas generasi muda terutama dalam politik.

Meskipun partai ini tidak dapat melaksanakan tuntutan tersebut, PPP tetap konsisten dalam memperjuangkannya melalui pernyataan politik maupun aksi nyata para kadernya yang berada di kursi DPR.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Terkini Lainnya

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Perkara Besar di Masa Jampidum Fadil Zumhana, Kasus Sambo dan Panji Gumilang

Nasional
Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Refly Harun: Anies Tak Punya Kontrol Terhadap Parpol di Koalisi Perubahan

Nasional
Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Verifikasi Bukti Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai, Warga Akan Didatangi Satu-satu

Nasional
Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Indonesia Dorong Pemberian Hak Istimewa ke Palestina di Sidang PBB

Nasional
Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Beban Melonjak, KPU Libatkan PPK dan PPS Verifikasi Dukungan Calon Kepala Daerah Nonpartai

Nasional
Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Peran Kritis Bea Cukai dalam Mendukung Kesejahteraan Ekonomi Negara

Nasional
Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Refly Harun Ungkap Bendera Nasdem Hampir Diturunkan Relawan Amin Setelah Paloh Ucapkan Selamat ke Prabowo

Nasional
UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

UU Pilkada Tak Izinkan Eks Gubernur Jadi Cawagub, Wacana Duet Anies-Ahok Buyar

Nasional
Jemaah Haji Tak Punya 'Smart Card' Terancam Deportasi dan Denda

Jemaah Haji Tak Punya "Smart Card" Terancam Deportasi dan Denda

Nasional
Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Sebelum Wafat, Jampidum Kejagung Sempat Dirawat di RSCM 2 Bulan

Nasional
Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Jampidum Kejagung Fadil Zumhana Meninggal Dunia

Nasional
Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Prabowo Minta Pemerintahannya Tak Diganggu, PKS: Kontrol Terhadap Pemerintah Wajib

Nasional
Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Istri di Minahasa Dibunuh karena Mengigau, Komnas Perempuan Sebut Fenomena Femisida

Nasional
Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Kabaharkam Siapkan Strategi Pengamanan Khusus di Akses Masuk Pelabuhan Jelang WWF ke-10 di Bali

Nasional
Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Ketua KPU Sebut Caleg Terpilih Tak Harus Mundur jika Maju Pilkada, Pakar: Jangan-jangan Pesanan...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com