KOMPAS.com - Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Dokter Hasto memaparkan sejumlah penyebab stunting atau kondisi gagal tumbuh.
Menurutnya, kondisi malnutrisi tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap tinggi dan berat badan anak, tetapi juga kekebalan tubuh dan kemampuan kognitif anak.
Dokter Hasto menjelaskan, salah satu ciri khas stunting adalah bertubuh pendek, tetapi anak pendek belum tentu stunting.
“Ciri yang lebih khas lagi adalah anak stunting tidak cerdas dan orang stunting sering sakit-sakitan,” ungkap Dokter Hasto melalui keterangan persnya, Kamis (29/2/2024).
Hal itu disampaikan Dokter Hasto pada Rapat Koordinasi Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) Aceh Tahun 2024 di Hotel Ayani, Banda Aceh, Provinsi Aceh, Rabu (28/2/2024).
Baca juga: Kejar Target Penurunan Stunting, BKKBN: Nikahlah pada Usia yang Tepat
Kemudian, kata dia, saat anak yang mengalami stunting tumbuh dewasa, mereka akan mengalami central obesity yang menyebabkan mudah terkena penyakit, seperti darah tinggi, jantung, dan stroke.
Dokter Hasto mengatakan, usia perkawinan turut memengaruhi terjadinya stunting terhadap bayi yang dilahirkan.
Dia menjelaskan, pernikahan di usia anak menentukan kesehatan ibu saat hamil. Perempuan yang melahirkan pada usia dini berisiko mengalami kondisi kurang darah dan melahirkan anak stunting.
Risiko yang sama juga dialami perempuan yang melahirkan pada usia di atas 35 tahun.
“Di Aceh, masih banyak ibu-ibu yang melahirkan di atas usia 35 tahun,” ungkapnya.
Dokter kandungan kelahiran 30 Juli 1964 itu menambahkan, penyebab lain stunting adalah jarak kelahiran anak yang terlalu dekat. Jarak kelahiran anak yang terlalu dekat mengakibatkan pola asuh yang diberikan kepada anak tidak maksimal.
Baca juga: Target BKKBN pada 2024: Stunting Turun Jadi 14 Persen, Unmet Need 7,40 Persen
Padahal, kata Dokter Hasto, setiap anak perlu diberikan air susu ibu (ASI) paling kurang selama 24 bulan atau dua tahun.
Selain itu, ada pula beberapa alasan mengapa bayi tidak menyusui, yakni 65,7 persen karena ASI tidak keluar, 8,4 persen terjadi rawat pisah antara ibu dan bayi, 6,6 persen karena anak tidak bisa menerima susu, dan 2,2 persen karena si ibu repot.
Lebih lanjut, Dokter Hasto menekankan pentingnya pemberian ASI kepada bayi dibandingkan memberikan susu botol.
Ia mengingatkan kepada para ibu agar berhati-hati ketika memberikan susu untuk bayi atau balita, khususnya dalam penggunaan botol susu.