JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkapkan, ada potensi dana kampanye pemilu bersumber dari tindak pidana atau aktivitas ilegal.
Menurut analisis PPATK, sedikitnya 11 provinsi di Indonesia memiliki risiko tinggi dana kampanye sebagai sarana tindak pidana pencucian uang (TPPU).
“Ada 11 provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang bercampur dengan dana hasil ilegal,” kata Ivan dalam Forum Diskusi Sentra Gakkumdu yang ditayangkan YouTube Kemenko Polhukam, Selasa (8/8/2023).
"Artinya, memang ada potensi dana hasil tindak pidana masuk sebagai biaya untuk kontestasi politik itu," tuturnya.
Baca juga: Bahasa Kampanye Pemilu di Ruang Publik
Dari 11 provinsi itu, DKI Jakarta mencatatkan rata-rata risiko tertinggi yakni 8,95. Selanjutnya, Jawa Timur dengan rata-rata risiko 8,81.
Kemudian secara berturut-turut ada Jawa Barat (7,63), Jawa Tengah (6,51), Sulawesi Selatan (5,76), Sumatera Utara (5,67), Sumatera Barat (5,67), Sumatera Selatan (5,46), Papua (5,43), Bali (5,35), dan Bengkulu (5,04).
Ivan mengatakan, DKI Jakarta memang menjadi provinsi dengan rata-rata risiko tertinggi dana kampanye sebagai sarana pencucian uang. Namun, di Ibu Kota, indikasi ini lebih mudah terdeteksi.
“Kalau Jakarta karena sistemnya sudah bagus, dia lebih cenderung mudah diketahui. Berbeda dengan Jawa Timur,” katanya.
Baca juga: MPR Akan Bahas Amendemen UUD Setelah Pemilu 2024
Sejalan dengan itu, PPATK menemukan bahwa transaksi terkait pemilu justru melonjak pada masa tenang atau satu hingga tiga hari sebelum pemungutan suara. Transaksi ini tercatat dalam rekening khusus dana kampanye (RKDK) para peserta pemilu.
Sebaliknya, menurut RKDK peserta pemilu, transaksi yang tercatat selama masa kampanye justru lebih rendah dibanding saat masa tenang.
Terjadi anomali bahwa ketika aktivitas kampanye sedang tinggi, transaksi keuangan terkait pemilu yang terekam dalam RKDK malah cenderung statis.
“Kalau transaksinya banyak di masa kampanye oke, untuk biaya kampanye, sewa gedung, beli makan, beli kaus, bayar macam-macam itu di masa kampanye. Tapi kenapa RKDK ini banyak bergeraknya di minggu tenang?” ujar Ivan.
Atas temuan tersebut, PPATK menduga, aktivitas kampanye para peserta pemilu didanai oleh sumber-sumber yang tak tercatat.
Sumber dana itu bisa jadi berasal dari pihak yang melakukan aktivitas ilegal, seperti pelaku illegal logging, pelaku illegal mining, bahkan bandar narkotika.
Menurut Ivan, situasi ini terjadi karena aturan pemilu tak melarang aktivitas kampanye didanai dari sumber lain di luar RKDK.
“Jadi orang mau nyumbang pakai apa-apa silakan saja, fatalnya kan di situ. Hasil narkoba masuk silakan saja, nanti dia pakai macam-macam silakan saja,” tutur dia.
Baca juga: Bertemu Pimpinan MPR, Jokowi Bicara Kemungkinan Ada 4 Pasangan Capres-Cawapres di Pemilu 2024
Ivan pun mengungkap temuan PPATK soal dugaan uang hasil kejahatan lingkungan sebesar Rp 1 triliun yang mengalir ke partai politik. Dana tersebut diduga untuk kepentingan Pemilu 2024.
Temuan itu, kata Ivan, telah disampaikan PPATK kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
“Lalu salah satu hasil temuan PPATK yang sudah ditemukan beberapa waktu yang lalu, ada uang Rp 1 triliun, uang kejahatan lingkungan, yang masuk ke parpol, itu kurang lebih ya,” kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.