JAKARTA, KOMPAS.com - Hari ini, 27 tahun lalu, Indonesia mencatatkan sejarah kelam perpolitikan. Tepat Sabtu, 27 Juli 1996, konflik internal partai membesar menjadi kerusuhan yang mengacaukan kawasan Menteng, Salemba, Kramat, Matraman, dan sekitarnya.
Bermula dari aksi saling lempar di kawasan kantor Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat, bentrok massa meluas di jalanan.
Massa yang terus membengkak jumlahnya bahkan membakar bus-bus bus kota hingga sejumlah gedung di wilayah Jalan Salemba. Gedung-gedung pun hancur, berikut kendaraan dan fasilitas umum.
Tak heran jika pascakerusuhan tersebut, pemerintah Provinsi DKI Jakarta mencatatkan kerugian material mencapai lebih dari Rp 100 miliar. Demikian disampaikan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Surjadi Soedirdja, dalam pemberitaan Harian Kompas edisi 3 Agustus 1996.
Baca juga: Mengenang Peristiwa Kudatuli: Saat Konflik Partai Berujung Kerusuhan Mencekam
Saking kacaunya situasi ketika itu, Gubernur DKI bahkan harus berulang kali mengingatkan warga Ibu Kota untuk tidak mudah terprovokasi. Jika ada yang menemukan selebaran gelap bernada menghasut, warga diminta segera membakarnya.
"Jangan malah difotokopi atau diperbanyak, karena itu akan memperkeruh suasana," kata Surjadi Soedirdja dalam kunjungan kerjanya ke Kelurahan Guntur, Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan, 2 Agustus 1996.
Surjadi juga meminta warga Jakarta mewaspadai taktik para perusuh seperti teror lewat telepon, selebaran gelap, hasutan untuk melawan pemerintah, yang semuanya bertujuan membuat panik masyarakat.
"Jadi kalau ada warga Jakarta yang menemukan selebaran gelap, hendaknya segera dibakar saja. Tidak perlu diperbanyak atau disebarluaskan lagi," katanya.
"Kalau masyarakat mengetahui pelaku-pelaku kerusuhan, termasuk para penelepon gelap, diminta segera melaporkannya ke aparat terdekat," tandas mantan Pangdam Jaya tersebut.
Baca juga: Perebutan Kepemimpinan Parpol Pasca-kudatuli, dari PKB hingga Demokrat
Peristiwa ini kini dicatat sebagai Kerusuhan 27 Juli 1996 atau Kudatuli, sejarah pahit yang tidak hanya menyebabkan kerugian harta benda, tetapi juga menelan korban jiwa.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, sedikitnya 5 orang tewas, 149 luka, dan 23 orang dilaporkan hilang akibat huru-hara tersebut.
Menurut laporan Komnas HAM, kelima korban tewas adalah Asmayadi Soleh dan Slamet yang meninggal akibat kekerasan benda tumpul, lalu, Suganda Siagian karena luka bakar, Uju bin Asep diduga karena sakit jantung, dan Sariwan karena kena tembakan. Penyebab kematian lima orang tersebut berdasarkan hasil visum dan keterangan dokter.
Masih menurut laporan Komnas HAM, sebanyak 149 korban luka-luka berasal dari kalangan sipil dan militer.
Kerusuhan yang terjadi pada 27 Juli 1996 memang tak main-main. Konflik tersebut bermula dari dualisme kepemimpinan di tubuh Partai Demokrasi Indonesia (PDI), menghadapkan kubu Megawati Soekarnoputri dengan kubu Soerjadi.
Jauh sebelum Kudatuli terjadi, Megawati bergabung dengan PDI pada 1987. Saat itu, partai tersebut dipimpin oleh Soerjadi.