JAKARTA, KOMPAS.com - Revisi Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dinilai hanya untuk mengakomodir kepentingan kepala desa (kades), bukan warga desa.
Sebab, menurut pakar otonomi daerah (otda) Djohermansyah Djohan, poin-poin yang direvisi dalam undang-undang ini bakal memperluas sekaligus memperkuat kekuasaan kades.
“Jadi ini adalah betul-betul undang-undang yang saya bilang untuk kepala desa, bukan untuk rakyat desa,” kata Djohan kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2023).
Baca juga: Pimpinan DPR Targetkan Revisi UU Desa Selesai Sebelum Desember
Djohan mencontohkan, dalam rancangan UU itu, diatur soal penambahan masa jabatan kepala desa dari 6 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali sebanyak dua kali, menjadi 9 tahun dalam satu periode dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Lewat UU tersebut, diatur pula penghasilan tetap dan tunjangan-tunjangan untuk kepala desa, termasuk uang pensiun.
Bahkan, pembuat UU mengusulkan untuk menambah besaran dana desa dari Rp 1 miliar per tahun setiap desa, menjadi Rp 2 miliar.
Baca juga: Perpanjangan Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun Dinilai Rawan Korupsi
Menurut Djohan, kepentingan kepala desa dalam revisi UU ini terlihat jelas sejak awal. Kepala desa-lah yang sedari awal menyuarakan penambahan masa jabatan lewat revisi UU ini.
Bahkan, terjadi demonstrasi besar-besaran oleh kades di berbagai wilayah untuk menuntut perpanjangan masa jabatan.
Sampai-sampai, kepala desa terang-terangan mengancam akan menggembosi suara rakyat desa pada Pemilu 2024 jika tuntutan mereka tak dikabulkan.
“Kepala desa kok minta masa jabatan diperpanjang itu gimana, mana etikanya?” ujar Djohan.
Padahal, lanjut Djohan, kompetensi kepala desa dalam mengelola administrasi daerah cenderung minim. Hal ini sulit dihindari lantaran kepala desa merupakan jabatan politis yang ditentukan oleh rakyat.
Demikian pula dengan perangkat desa yang umumnya adalah orang-orang yang turut mensukseskan kepala desa dalam pemilihan.
Dengan masa jabatan kepala desa yang begitu panjang dan orang-orang yang kurang kompeten, pengelolaan desa dinilai rawan penyalahgunaan, bahkan cenderung koruptif.
Untuk itu, diperlukan pembenahan internal pemerintah desa serta penguatan pengawasan terhadap kades dan perangkatnya.
“Jadi kekuasaan yang lama 9 tahun, miskin kompetensi, menyebabkan tata kelola governance dengan uang yang besar itu akan tidak efisien dan efektif, dan bahkan berpotensi ke penyimpangan, korupsi,” kata Djohan.
Baca juga: Tak Masuk Akalnya Kenaikan Dana Desa 20 Persen di Tengah Lemahnya Pengawasan