JAKARTA, KOMPAS.com - DPR RI didesak fokus membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset Tindak Pidana ketimbang memproses Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman Suparman menyebut pembahasan RUU Perampasan Aset justru lebih mendesak ketimbang memproses RUU Desa.
"DPR harusnya fokus ke RUU strategis, (misalnya) Perampasan Aset, bukan UU ini (RUU Desa), banyak UU lain yang mesti direvisi, bukan UU Desa," kata Herman kepada Kompas.com, Rabu (5/7/2023).
Baca juga: Revisi UU Desa Dikebut DPR: Didukung Pemerintah Desa, tapi Dikritik LSM
Adapun Panitia Kerja Penyusunan RUU Desa menyepati dua poin. Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun.
Kedua, DPR RI menyepakati kenaikan dana desa sebesar 20 persen yang bersumber dari dana transfer daerah.
Herman menilai, dua substansi perubahan ini sebagaimana yang diharapkan kepala desa selama ini, tapi tidak dengan masyarakat.
Menurutnya, lamanya seorang kepala desa menjabat tidak menjamin mereka bisa membangun desa.
Sebab, yang menjadi kunci utama pembangunan desa adalah kapasitas kepala desa dan tata kelola dana desa yang mereka terima.
"Masa jabatan itu bukan indikator kualitas tata kelola di desa. Tapi yang perlu diperhatikan kualitas perencanaan, penganggaran, dan pelayanan publik," tegas Herman.
Baca juga: Tak Masuk Akalnya Kenaikan Dana Desa 20 Persen di Tengah Lemahnya Pengawasan
Selain itu, besarnya kenaikan dana desa dikhawatirkan justru akan membebani anggaran negara.
Sebab, banyak sektor strategis lain yang mestinya mendapat dukungan pembiayaan lebih, sektor pendidikan dan kesehatan, misalnya.
"Itu menurut kami itu perlu dipertimbangkan baik-baik oleh DPR," imbuh Herman.
Sebelumnya, Baleg DPR RI menyepakati bahwa dana desa meningkat 20 persen. Persentase anggaran ini berasal dari dana transfer daerah.
Pada rapat-rapat sebelumnya, pembahasan sempat tersendat pada usulan kenaikan sebesar 15 persen.
Adapun alokasi anggaran desa sebelumnya berkisar 8,3 persen atau setara Rp 1,1 miliar hingga Rp 1,3 miliar pada tahun 2023.