JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK) memberi tiga catatan seandainya Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu kelak direvisi DPR dan pemerintah guna mengatur keserentakan rekrutmen penyelenggara pemilu, baik itu Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dalam sidang pembacaan putusan perkara nomor 120/PUU-XX/2022, majelis hakim menilai ada beberapa hal penting yang harus dilakukan untuk menyesuaikan rekrutmen penyelenggara pemilu dengan prinsip keserentakan pemilu.
"Pertama, rekrutmen penyelenggara pemilu harus dilakukan sebelum dimulainya tahapan penyelenggaraan pemilu," kata hakim konstitusi Guntur Hamzah membacakan bagian pertimbangan putusan, Selasa (27/6/2023).
Hal ini juga merupakan salah satu alasan MK menolak gugatan pemohon pada perkara ini.
Baca juga: MK Tolak Perpanjang Masa Jabatan KPU di Daerah agar Berakhir Serentak Usai 2024
MK mengatakan, tahapan Pemilu 2024 sudah terlanjut berjalan sejak 14 Juni 2022. Selama kurun tersebut, ratusan anggota KPU di tingkat daerah sudah berakhir masa jabatan dan diganti dengan yang baru.
"Kedua, rekrutmen hendaknya didesain dengan lebih baik, sehingga menghasilkan penyelenggara pemilu yang mampu melaksanakan atau mewujudkan asas-asas penyelenggaraan pemilu sebagaimana termaktub dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945," kata Guntur.
Desain rekrutmen yang lebih baik ini dianggap bakal menghasilkan penyelenggara pemilu yang berkompeten serta memiliki integritas dan mampu menjaga independensi terhadap semua peserta pemilu.
"Ketiga, penyelenggara pemilu dibekali secara memadai melalui pelatihan, workshop, dan/atau bimbingan teknis pelaksanaan tugas, kepemiluan yang dilaksanakan sebagai penyelenggara dalam pemilihan umum secara serentak," ujar Guntur.
Baca juga: Masa Bakti Anggota KPU Daerah Diusulkan Berakhir Serentak pada 2023
MK sependapat bahwa di masa depan, akhir masa jabatan dan rekrutmen anggota KPU harus serentak. Mahkamah berpendapat, keserentakan ini merupakan sesuatu yang tak dapat dihindari.
Ini sebagai konsekuensi dari desain keserentakan pemilu yang dimulai sejak 2019 untuk Pemilihan Presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta ditambah dengan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak pada 2024.
Majelis hakim menyinggung Putusan MK Nomor 31/PUU-XVI/2018 pada tanggal 23 Juli 2018. Waktu itu, majelis hakim menyatakan, beban kerja seimbang menjadi bagian penting agar kerja profesional penyelenggara pemilu bisa dilakukan guna mewujudkan pemilu yang jujur dan adil.
Baca juga: Jokowi Tolak Usul Penyeragaman Jabatan KPU Daerah pada 2023
Dalam putusan yang sama, MK mengatakan, betapa pun bagusnya pengetahuan dan kompetensi dari penyelenggara pemilu, profesionalitas itu tetap sulit tercapai jika beban pekerjaannya berlebih. Profesionalitas yang terganggu ini bisa berpengaruh terhadap pemilu yang adil dan jujur sebagaimana dikehendaki UUD 1945.
Kali ini, Mahkamah menegaskan bahwa pemilu yang berintegritas dapat dilaksanakan dengan menciptakan mekanisme seleksi penyelenggara pemilu yang ideal.
Sebelumnya, permohonan ini dilayangkan Yayasan Pusat Studi Strategis dan Kebijakan Indonesia atau Centre for Strategic and Indonesian Public Policy (CSIPP) bersama dua warga negara bernama Bahrain dan Dedi Subroto.
Mereka meminta Mahkamah supaya memperpanjang masa bakti ribuan anggota KPU di tingkat daerah hingga Pilkada Serentak pada November 2024 usai.
Baca juga: Demi Keserentakan Rekrutmen KPUD, MK Tolak Perpanjangan Jabatan Anggota