JAKARTA, KOMPAS com - Mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang dan Abraham Samad, mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung atas dua Peraturan KPU, soal masa jeda eks terpidana sebelum mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif pada Pemilu 2024, Senin (12/6/2023).
Dua peraturan itu adalah Pasal 11 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPR RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota, serta Pasal 18 Peraturan KPU Nomor 11 Tahun 2023 tentang pencalonan anggota DPD RI.
Selain Samad dan Saut, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) juga terdaftar sebagai penggugat.
"Dua Peraturan KPU itu bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi, terutama berkaitan dengan pengecualian syarat bagi eks terpidana, khususnya tindak pidana korupsi, yang akan maju sebagai anggota legislatif pada Pemilu 2024," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, kepada wartawan di MA pada Senin petang.
Baca juga: KPU dan Masyarakat Sipil Beda Tafsir Syarat Nyaleg Eks Terpidana, Celah bagi Koruptor?
Pantauan Kompas.com, Saut turut hadir mendaftarkan gugatan, begitu pula perwakilan Perludem, Fadli Ramadhanil. Namun, Samad tak terlihat batang hidungnya.
Secara khusus, Saut berharap agar MA bisa segera memutuskan gugatan uji materi ini agar menciptakan kepastian hukum dalam proses pendaftaran dan verifikasi bakal calon anggota legislatif (bacaleg) yang sudah berlangsung sejak 1 Mei 2023.
Ia mengaku, keterlibatan dirinya dalam pengajuan uji materi ini tak terlepas dari rekam jejaknya ketika menjadi pimpinan KPK.
"Supaya ada kepastian, bagaimana sebenarnya pesta demokrasi kita yang berkaitan dengan adanya beberapa orang yang bermasalah beberapa waktu lalu, tetap kita bisa menciptakan politik cerdas dan berintegritas yang selama ini kita kenal dan kita promosikan di KPK," ucap Saut dalam kesempatan yang sama.
Baca juga: Masyarakat Sipil Minta MK Tegur KPU soal Aturan Eks Terpidana Jadi Caleg
"Sebagaimana kita ketahui, KPU memutuskan itu (Peraturan KPU) sekitar bulan April dan sudah berjalan sampai hari ini. Saya nilai itu tidak ada kepastian," ia melanjutkan.
Amar putusan MK yang dimaksud Saut cs adalah Putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 dan 12/PUU-XXI/2023.
Dalam amar putusannya, MK menyatakan, eks terpidana yang diancam minimum 5 tahun penjara (selanjutnya disebut "eks terpidana") baru dapat mencalonkan diri sebagai caleg setelah menunggu masa jeda 5 tahun, terhitung sejak bebas murni.
Namun, dalam penerjemahan yang dilakukan KPU lewat 2 peraturan tadi, KPU memberi pengecualian bahwa masa jeda 5 tahun sejak bebas murni ini tak berlaku untuk eks terpidana yang juga divonis pidana tambahan berupa pencabutan hak politik.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mengeklaim bahwa ketentuan ini bersumber dari pertimbangan putusan MK yang sama, yang salah satunya dapat dibaca pada halaman 29 putusan MK nomor 87/PUU-XX/2022.
Dalam pertimbangan itu, majelis hakim menilai, ketentuan eks terpidana dengan ancaman 5 tahun penjara maju caleg tanpa menunggu masa jeda 5 tahun bebas murni merupakan sesuatu yang inkonstitusional seandainya berlaku untuk jabatan-jabatan publik yang dipilih (elected officials) "sepanjang tidak dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap".
Baca juga: ICW Ancam Gugat Aturan KPU soal Syarat Maju Caleg untuk Eks Terpidana
Masalah semakin rumit karena ICW-Perludem memiliki tafsir berbeda atas putusan ini dengan KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).