KASUS polisi tembak polisi yang mematikan CCTV belum tuntas. Hakim Mahkamah Agung tersangka pula. Kali ini hakim Yustisial. Sebelumnya dua hakim agung dinyatakan terlibat dalam perkara suap.
Beberapa waktu yang lalu Menko Polhukam Mahfud MD mengungkap perkara purnawirawan jenderal jadi beking tambang ilegal.
Beberapa waktu berselang, Wakil Ketua KPK Alex Marwata juga mengonfirmasi tentang praktik suap izin usaha.
Menyedihkan sekaligus memuakkan ketika membaca berita penegak hukum ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ditetapkan sebagai tersangka jelas karena melanggar hukum.
Penegak hukum, tetapi melanggar hukum, bahkan inisiator pelanggaran hukum, ini namanya tongkat membawa rebah. Tongkat yang sejatinya penopang supaya sesuatu yang ditopang tidak rubuh, justru menjadi sebab terjadi kerubuhan.
Tidak polisi, tidak hakim, tidak jaksa, tidak tentara, semua seakan sepakat melakukan pelanggaran hukum.
Bahkan pelakunya bukan pejabat rendahan dengan gaji kecil dan tidak pula berada di wilayah terpencil, melainkan pejabat elite, pimpinan dan di Jakarta pula.
Ketika penegak hukum jadi tersangka, publik kemudian dipaksa untuk percaya bahwa pelakunya adalah hanya oknum atau pribadi tertentu, bukan institusi. Anehnya publik pun percaya.
Padahal, bagaimana mungkin, bila pelakunya adalah hanya oknum atau hanya satu dua orang, tetapi terjadi di semua lini dan tingkat dari paling bawah hingga elite dan pimpinan. Marak kalau mau diungkap semua.
Saya kira, publik patut dan seharusnya sudah tak perlu percaya bahwa pelakunya adalah hanya oknum. Suap, korupsi, dan gratifikasi di lembaga penegak hukum patut dicurigai sebagai kinerja buruk dan tak kunjung diberantas.
Publik tak percaya bahwa semua pejabat penegak hukum, mulai dari tingkat paling bawah sampai elite dan pimpinan, tidak tahu ada praktik busuk berupa suap, korupsi dan gratifikasi di lingkungan kerja atau lembaga yang dipimpinnya.
Sebaliknya, yang terjadi di lembaga penegak hukum kita adalah pembiaran akan praktik suap, korupsi, dan gratifikasi.
Kenapa terjadi pembiaran? Selain, mungkin karena mereka sendiri juga terlibat, pembiaran terjadi karena tidak ada integritas sebagai penegak hukum.
Ketiadaan integritas inilah yang menjadi sebab seseorang membiarkan pelanggaran di sekitarnya dan oleh orang-orang terdekatnya.
Ketika publik menunjuk institusi sebagai masalah, selalu muncul orang yang berkata, hakim baik masih banyak, polisi bersih masih banyak, jaksa yang jujur masih banyak, dan selanjutnya.