Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Indonesian Insight Kompas
Kelindan arsip, data, analisis, dan peristiwa

Arsip Kompas berkelindan dengan olah data, analisis, dan atau peristiwa kenyataan hari ini membangun sebuah cerita. Masa lalu dan masa kini tak pernah benar-benar terputus. Ikhtiar Kompas.com menyongsong masa depan berbekal catatan hingga hari ini, termasuk dari kekayaan Arsip Kompas.

Lika-liku Tionghoa Dianggap Minoritas di Indonesia

Kompas.com - 02/02/2022, 07:06 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

TIONGHOA atau—vulgarnya—orang China jamak dianggap sebagai salah satu kalangan minoritas di negeri ini. Benarkah sebutan minoritas bagi Tionghoa di Indonesia semata karena soal jumlah populasi?

Mendiang sejarawan Onghokham mengungkap, ada sebab yang lebih rumit dibanding semata jumlah populasi. Kisahnya juga harus ditarik jauh ke belakang, sebelum era kemerdekaan.

Salah satu kumpulan tulisannya, Riwayat Tionghoa Peranakan di Jawa, mengurai soal pelabelan minoritas Tionghoa ini dalam satu bab tersendiri, dengan bab lain menopang kelindan duduk perkaranya.

Riset terkini mendapati juga bahwa sejatinya nyaris tidak ada "darah murni" Indonesia bila ditelisik dari genetika. Dari sekian komponen genetika orang Indonesia, ada jejak darah leluhur Tionghoa mengalir deras di dalamnya.

Baca juga: Menelusuri Sejarah Awal Masuknya Masyarakat Tionghoa di Indonesia...

Ahmad Arif dalam tulisan berjudul "Besse" Menyingkap Jejak Leluhur yang tayang di harian Kompas edisi 28 Agustus 2021 menulis, sejauh ini fosil manusia paling tua yang berhasil diurutkan genetikanya di Indonesia diambil dari situs Loyang Ujung Karang, Aceh Tengah.

Tangkap Layar artikel Besse Menyingkap Jejak Leluhur yang tayang di harian Kompas edisi 28 Agustus 2021.ARSIP KOMPAS Tangkap Layar artikel Besse Menyingkap Jejak Leluhur yang tayang di harian Kompas edisi 28 Agustus 2021.

Genetika fosil berumur 2.000 tahun itu diurutkan oleh ahli genetika dari St John’s College, University of Cambridge, Eske Willerslev dan tim. Kajian genetika ini dilakukan simultan dengan 25 fosil manusia kuno yang lain di Asia Tenggara dan hasilnya terbit di Jurnal Science pada 2018. 

Dari data genom fosil ini ditemukan bukti ada pembauran genetika antara pemburu-peramu dan petani di Asia Tenggara.

"Petani padi di Asia Tenggara bermigrasi dari China selatan, tepatnya lembah Sungai Yangtze dan Sungai Kuning, tempat awal domestifikasi padi dan jewawut, 9.000-5.500 tahun lalu, kemudian budidaya padi sawah sekitar 4.500 tahun lalu," tulis Arif.

Baca juga: "Besse" Menyingkap Jejak Leluhur Papua di Sulawesi

Informasi DNA dari fosil kuno yang ditemukan di Aceh Tengah, yang hingga sebelum 10.000 tahun lalu menjadi bagian dari dataran Eurasia ini penting untuk menggambarkan migrasi dan relasi manusia di bagian barat Indonesia.

Temuan dan kajian atas fosil Besse dari situs Leang Panninge, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, menggenapi bacaan tentang migrasi manusia di Indonesia berdasarkan jejak genetikanya.

Hasil kajian genom fosil Besse dari situs Leang Panninge yang dipublikasikan di jurnal Nature edisi 25 Agustus 2021.DOK NATURE Hasil kajian genom fosil Besse dari situs Leang Panninge yang dipublikasikan di jurnal Nature edisi 25 Agustus 2021.

 

Hasil kajian para arkeolog Universitas Hasanuddin dan tim internasional atas Besse ini dipublikasikan di jurnal Nature pada 25 Agustus 2021.

Baca juga: Leluhur Kawin dengan Lima Manusia Purba

Mitos susah dilebur

Penelusuran genetika mendapati migrasi Tionghoa hingga ke Indonesia telah terjadi lama. Percampuran bahkan sudah terjadi hingga ke wilayah genetika.

Fakta ini mengusik pertanyaan mengapa kelanjutan migrasi manusia ini belakangan menjadi persoalan dan menghadirkan kotak-kotak pelabelan termasuk penyebutan minoritas bagi kalangan Tionghoa?

Onghokham menulis, salah satu yang mendasari label minoritas bagi Tionghoa di Indonesia adalah mitos suku bangsa ini tidak mungkin dilebur ke dalam masyarakat selain komunitasnya sendiri. 

Menurut Onghokham, mitos itu dibuat orang asing, terutama Barat, karena pengamatan yang keliru.

"Mereka hanya memperhatikan orang-orang Tionghoa yang baru berimigrasi ke negara itu. Tentu saja orang yang baru berimigrasi itu tidak bisa dilebur," tulis Onghokham.

Di Indonesia pun begitu. Para pengamat asing itu juga cenderung berhubungan dengan Tionghoa yang baru tiba, selama-lamanya paling baru satu atau dua generasi keluarganya berimingrasi dari Tiongkok. 

"Ini karena mereka (Tionghoa yang baru tiba) itulah yang lebih banyak mengusahakan toko-toko kecil. Mereka mempunya cara hidup dan mata pencaharian yang lain dengan yang sudah lama tinggal di Jawa," papar Onghokham.

Pemerintah kolonial Hindia-Belanda juga tak punya banyak catatan soal etnis Tionghoa, terutama sebelum 1928.
Salah satu salah kaprah yang dicatat Onghokham berlatar kedangkalan pengetahuan itu adalah keberadaan buku yang menyebut bahwa ucapan "kamsia" berarti "selamat pagi". Padahal, arti sesungguhnya adalah "terima kasih".

Tionghoa totok vs peranakan

Mitos etnis ini susah dilebur dibantah antara lain dari riset Dr GW Skinner di Thailand. Di negeri itu, misalnya, tak ada sebutan Tionghoa peranakan

Di Thailand, Tionghoa yang baru tiba dari China atau keluarganya baru maksimal dua generasi menetap disebut sebagai China totok. Bila keluarganya sudah lebih dari dua generasi tinggal di situ, mereka sudah melebur dengan warga setempat.

Sejatinya hal serupa terjadi juga di Indonesia. Pigeaud dalam Aantekeningen van de Oosthoek, sebut Onghokham, menyatakan bahwa tak sedikit kontribusi Tionghoa terhadap komposisi penduduk pesisir. 

Onghokham menyitir pula Dr Loe Ping Kian yang mengungkap bahwa banyak famili di Indonesia mempunya darah Tionghoa.

Dalam buku kumpulan tulisannya, Onghokham menggunakan penggolongan Tionghoa totok dan peranakan untuk memotret situasi di Indonesia. Tionghoa totok adalah mereka yang lahir di Tiongkok dan baru tiba di Indonesia.

Adapun Tionghoa peranakan, ungkap dia, bukan semata dari sisi biologis melainkan juga kebudayaan. 

"Di rumah, mereka memakai bahasa Melayu, Indonesia, Jawa, atau Sunda. Adat-istiadat mereka juga tidak 100 persen Tionghoa, tetapi mereka telah mengambil adat-istiadat penduduk setempat," ungkap Onghokham.

Onghokham mengutip pula tulisan Ong Taij Haij, Tionghoa yang merantau ke Jawa pada abad ke-18, yang mengatakan bahwa ketika orang Tionghoa telah tinggal selama beberapa keturunan di negara asing tanpa pernah kembali ke Tiongkok maka mereka dengan mudah sekali melepaskan diri dari ajaran dan tata cara Tiongkok.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Polri dan Kepolisian Thailand Sepakat Buru Gembong Narkoba Fredy Pratama

Nasional
Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Lewat Ajudannya, SYL Minta Anak Buahnya di Kementan Sediakan Mobil Negara Dipakai Cucunya

Nasional
KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

KPK Duga Eks Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin Terima Fasilitas di Rutan Usai Bayar Pungli

Nasional
Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Desta Batal Hadir Sidang Perdana Dugaan Asusila Ketua KPU

Nasional
Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Soal Lonjakan Kasus Covid-19 di Singapura, Kemenkes Sebut Skrining Ketat Tak Dilakukan Sementara Ini

Nasional
DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

DKPP Akan Panggil Sekjen KPU soal Hasyim Asy'ari Pakai Fasilitas Jabatan untuk Goda PPLN

Nasional
Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Menhub Usul Kereta Cepat Jakarta-Surabaya Masuk PSN

Nasional
SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

SYL Diduga Minta Uang ke Para Pegawai Kementan untuk Bayar THR Sopir hingga ART

Nasional
Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Delegasi DPR RI Kunjungi Swedia Terkait Program Makan Siang Gratis

Nasional
Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Hari Ke-11 Penerbangan Haji Indonesia, 7.2481 Jemaah Tiba di Madinah, 8 Wafat

Nasional
Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Ketua KPU Protes Aduan Asusila Jadi Konsumsi Publik, Ungkit Konsekuensi Hukum

Nasional
Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Sindir Bobby, PDI-P: Ada yang Gabung Partai karena Idealisme, Ada karena Kepentingan Praktis Kekuasaan

Nasional
Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik 'Cicak Vs Buaya Jilid 2'

Eks Kakorlantas Polri Djoko Susilo Ajukan PK Lagi, Kilas Balik "Cicak Vs Buaya Jilid 2"

Nasional
JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

JK Singgung IKN, Proyek Tiba-tiba yang Tak Ada di Janji Kampanye Jokowi

Nasional
Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Soal Peluang Ahok Maju Pilkada DKI atau Sumut, Sekjen PDI-P: Belum Dibahas, tetapi Kepemimpinannya Diakui

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com